Oleh Mumuns06 ~ ingatanfajar.blogspot.com
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku mohon keridhoan-Nya untuk merangkai huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, paragraf menjadi cerita, cerita yang penuh hikmah. Amiin..
Senin sore, hampir saja aku lupa kalau malam ini ada pengajian rutin di masjid kampusku, Al- Furqan Islamic Center. Aku segera bergegas bersiap-siap berangkat, waktu telah menunjukan pukul 17.45 WIB. “Mengapa bisa lupa Ya Allah, maafkan anak Adam ini Ya Allah, aku mohon ridho-Mu, kuatkanlah kembali ingatanku” sesalku dalam hati. Aku segera berangkat agar bisa mengikuti shalat maghrib berjama’ah disana.
Aku tiba ketika adzan maghrib telah berkumandang, segera aku mengambil air wudlu, menunaikan shalat wajib tiga raka’at berjama’ah dan bersiap mengikuti pengajian, majelis ilmu penuh hikmah.
---
Diskusi malam, Senin 12 Januari. Semoga berkah..
Prof. Sofyan, salah satu guru besar di kampus menjadi pembicara pada diskusi malam ini. Pembahasannya tentang bagaimana meneladani sikap Rasulullah, sangat pas karena sekarang telah masuk bulan Rabi’ul Awal, dalam kalender Hijriyah. Bulan Rabi’ul Awal adalah bulan kelahiran Rasulullah SAW, rahmatan lil’alamiin.
Aku melihat ke arah kanan dan kiri ku, sungguh sangat miris. Kurang lebih hanya sepuluh orang yang mengikuti diskusi malam ini, salah satunya dosenku di perkuliahan. Biarlah, semoga insan yang hadir malam ini kelak akan menjadi insan dengan kualitas unggul, dunia dan akhiratnya.
Diskusi segera dimulai.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuhu”. Buka Prof. Sofyan. Kami serentak menjawab salam tersebut. Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, dan rahmat Allah dan keberkahan-Nya, begitulah maksudnya.
“Puji dan syukur, mari kita panjatkan kepada Allah SWT., Tuhan semesta alam. Sungguh tidak pernah berhenti dan tidak pernah habis nikmat-Nya kepada kita semua. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia-lah pemilik Hari Pembalasan. Dia-lah, hanya dia yang patut kita sembah, Dia-lah, hanya Dia yang patut menjadi tempat kita meminta pertolongan-Nya. Semoga Allah senantiasa, menunjukan kepada kita jalan yang lurus. Jalan yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat-Nya, bukan jalan yang dimurkai atau jalan orang-orang yang sesat”. Arti surat Al-Fatihah menjadi mukadimah.
“Sungguh, siapa saja di antara kita yang bersyukur, niscaya Allah akan menambah nikmat-Nya. Dan siapa saja yang ingkar akan nikmat Allah, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang sangat pedih. Itulah janji Allah. Nah, aya nu terang ayeuna sasih naon? (Ada yang tahu sekarang bulan apa?)”. Prof. Sofyan bertanya untuk mengawali pembahasan.
“Sasih Januari, pak” “Sasih Mulud, pak”.
Beberapa di antara kami menjawab
“Dasar urang Sunda, apalna teh bulan Mulud, abong sok aya Muludan.(Dasar orang Sunda, tahunya tuh bulan Maulid, mentang-mentang suka ada Maulidan) hehehe. Di dalam kalender Hijriyah tidak ada yang namanya bulan Mulud. Bulan Januari? Iya bener, tapi itumah untuk tahun Masehi. Ayo, sekarang bulan apa?”. Jawaban Prof. Sofyan dengan bahasa Sunda yang loma diikuti tawanya yang renyah, mampu mencairkan suasana.
“Bulan Rabi’ul Awal”. Jawab salah seorang di antara kami. Aku menengok, ternyata Pak Cucu yang menjawab. Seperti kataku di atas, beliaulah yang aku maksud dosenku di perkuliahan. Dosen pada mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam.
“iya, tepat. Bulan Rabi’ul Awal. Hati-hati nanti ditanya lagi masih jawab bulan Mulud, maenya mahasiswa engga tahu bulan-bulan Islam. Hehehe”. Masih dengan tawanya.
“Pada bulan Rabi’ul Awal, dilahirkan seorang laki-laki pilihan Allah yang kelak membuka cakrawala umat untuk berfikir, dialah Baginda Muhammad Rasulullah SAW. Beliau adalah cahaya bagi umatnya yang masih diselimuti kegelapan menuju terang benderang. Beliau adalah teladan, sebaik-baiknya teladan yang mampu menuntun kita mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat”.
“Allah berfirman ‘Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu...’(QS. Al-Ahzab:21). Asbabun nuzul ayat di atas yaitu ketika Rasulullah hendak mempersiapkan perang Khandak. Dikisahkan bahwa saat itu kaum Muslim berada dalam kelaparan hebat. Di bawah terik matahari yang membakar kulit, Rasulullah dan kaum Muslim menggali parit. Santapan yang mereka makan hanyalah sebiji kurma yang dibagi-bagi. Perang Khandak adalah perintah dari Allah, strategi dengan membuat parit adalah usulan dari Salman Al-Farisi, sahabat nabi yang berasal dari Persia. Parit yang disiapkan mengelilingi Madinah kecuali daerah perbukitan yang terjal--bertujuan untuk menghalau kaum Kafir yang hendak menyerang. Tak terkira kelaparan yang melanda kaum Muslim saat itu, sehingga banyak di antara mereka yang memohon izin pulang sebentar kepada Rasulullah, alasannya untuk menengok keluarganya di rumah, membawa perbekalan dsb., akan tetapi kebanyakan di antara mereka tidak datang kembali. Disinilah iman kaum Muslim diuji oleh Allah SWT., akibat kelaparan yang hebat, para sahabat harus mengganjal perutnya dengan sebuah batu yang diikatkan dengan tali dari kain pakaiannya. Peristiwa ini membuat di antara mereka saling mengeluh dan mulai ragu bisa menang dalam perang Khandak. Lalu, bagaimana dengan Rasulullah SAW? Sungguh beliau adalah teladan umat, ketika para kaum Muslim sibuk mengeluh dan meragu, beliau tetap tenang dan tetap optimis. Bahkan ketika para sahabat melihat ke arah perutnya, betapa mereka kaget ketika melihat Rasulullah mengganjal perutnya dengan dua buah batu”. Prof. Sofyan menghela nafas dan minum air yang telah disediakan.
“Kata laqad pada ayat tersebut adalah sebuah Talqin artinya benar- benar. Maksudnya Allah menekankan dengan sungguh-sungguh bahwa memang terdapat tauladan yang baik pada diri Rasulullah SAW. Nah, rekan-rekan, lalu bagaimana kita bisa mencontoh perilaku Rasulullah? Apakah kita bisa mencontoh perilaku Rasulullah?” Prof. Sofyan melemparkan pertanyaan.
“......” Saya berpikir.
“Bi..sa pak” Jawab beberapa di antara kami dengan ragu-ragu.
“Bagaimana caranya?” Prof. Sofyan kembali bertanya.
“Dengan mengikuti contohnya pak” jawab salah seorang di antara kami.
“Contoh apanya? Itu terlalu luas. Baik, cara meneladani Rasulullah ada tiga. Pertama, Yarjullahi, artinya senantiasa mengharapkan ridho Allah. Segala hal yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mengharapkan ridho Allah. Kita bekerja niatkan hanya untuk mencari ridho Allah. Nah, sebagai mahasiswa juga, setiap langkah menuju kelas, mencari ilmu, niatkan hanya untuk mengharap ridho Allah SWT. Ade-ade mahasiswa yang jauh-jauh datang dari berbagai sudut negeri ke Bandung, untuk berkuliah disini niatkan lillahita’ala. Ade-ade yang masuk ke berbagai fakultas, itu hanyalah untuk ketertiban administrasi, sesungguhnya masa depan yang baik adalah masa depan yang penuh dengan keridhoan-Nya.”
“Yang kedua, Walyaumil akhiri, yaitu orang yang selalu mengingat hari akhir. Mereka yang percaya bahwa kiamat itu ada. Mereka yang percaya bahwa Hari Pembalasan itu menanti. Maka tiadalah dalam dirinya melainkan untuk selalu melakukan yang terbaik sebagai bekal di akhirat. Ada yang tahu kisah Al-Qamah? Dikisahkan pada masa Rasulullah, ada seorang anak yang sangat durhaka terhadap orangtuanya, Al-Qamah namanya. Sampai suatu hari Al-Qamah dikabarkan berada dalam sakaratul maut, sangat sulit sekali Al-Qamah mati, terus mengerang kesakitan. Akhirnya para sahabat bertanya kepada Rasulullah dan menjelaskan apa yang terjadi pada Al-Qamah. Rasulullah SAW. menjawab “Sesungguhnya Al-Qamah telah durhaka kepada orangtuanya, apakah orangtuanya masih hidup?”, para sahabat mengiyakan bahwa ibunya masih ada. “panggil orangtuanya” pinta Rasulullah. Akhirnya ibu dari Al-Qamah datang, Rasulullah memintanya untuk memaafkan Al-Qamah. Akan tetapi, ibu dari Al-Qamah enggan untuk memaafkan Al-Qamah karena menurutnya Al-Qamah sangat menyakiti hatinya. Mendengar hal itu, Rasulullah meminta kepada para sahabat untuk mengumpulkan kayu bakar—membakar Al-Qamah. Sebagai seorang ibu, mendengar anaknya akan dibakar membuat hatinya luluh. Akhirnya ibu Al-Qamah menghampiri anaknya dan memeluk Al-Qamah “ibu memafkanmu nak”. Akhirnya Al-Qamah meninggal. Nah, yang namanya orangtua mah, cek paribasa Sunda mah, landung kandungan... terus apa kelanjutannya?” Prof. Sofyan bertanya.
“....” hening, tak ada yang tahu.
“haduh, ieu orang Sunda tapi paribasa nu kieu oge teu apal, tong jadi orang Sunda (haduh, ini orang Sunda tapi peribahasa yang seperti ini aja engga tahu, tidak perlu jadi oran Sunda) haha”. Kami tertawa, sindirannya sangat halus.
“Landung kandungan, laer aisan. Artinya mau sabedegong-bedegongna (senakal-nakalnya) anak, yang namanya orang tua mah pasti selalu ingin yang terbaik buat anaknya, selalu mendo’akan yang terbaik buat anaknya, memaafkan tingkah laku yang menyakiti hatinya. Begitu pula yang terjadi pada Al-Qamah. Orang yang percaya akan hari kiamat, akan menyiapkan kematiannya dengan baik dengan istiqamah melakukan amal baik”. Lanjut Prof. Sofyan.
“Tapi pak, ada orang yang senantiasa berbuat baik namun meninggalnya susah, sedangkan ada yang baragajul, tukang kadek, tukang mabok, tukang mukaan rok (yang jahat, suka membunuh, suka mabuk, suka memperkosa) namun meninggalnya mudah, nah itu gimana pak?” Salah seorang di antara kami bertanya.
“Kejadian ini juga pernah terjadi di zaman Rasulullah, yang kemudian pernah ditanyakan oleh para sahabat. Rasulullah menjawab “Sesungguhnya orang yang buruk amalnya namun meninggalnya dimudahkan oleh Allah SWT., tidak lain Allah hanya ingin membalas kebaikannya, karena seburuk-buruknya orang tersebut pasti pernah melakukan kebaikan, sehingga ketika nanti yang tersisa hanyalah siksa yang pedih. Sedangkan, orang yang amalnya baik namun meninggalnya susah, tidak lain karena Allah ingin memberikan siksaan kepadanya, karena sebaik-baiknya orang pasti pernah melakukan kesalahan, sehingga ketika nanti yang tersisa hanyalah amal baik, dan baginyalah nikmat yang tiada habis-habisnya” begitulah Allah dalam memberikan balasan”. Jawab Prof. Sofyan.
Kami mengangguk paham.
“Bahkan menurut hasil survei menyebutkan bahwa orang Eropa sangat takut akan kematian, maka ketika telah menginjak usia tua kebanyakan orang Eropa sangat gelisah, gelisah menghadapi kematiannya. Itulah azab bagi orang yang tidak percaya akan adanya Hari Pembalasan, mereka dibuat gelisah menjelang ajalnya, seolah-olah bagi mereka kehidupan yang fana’ ini sebagai kehidupan terakhir. Mereka pun sangat heran terhadap kaum Muslim, karena semakin tua mereka semakin tenang. Apa penyebabnya? Ternyata sikap aslamu, sikap pasrah kepada Allah adalah faktor yang membuat kaum Muslim begitu tenang menjelang kematiannya”. Tambah Prof. Sofyan.
“Yang ketiga, wadzakarallahi katsiiro, orang yang banyak mengingat Allah SWT. Beruntunglah mereka yang senantiasa berdzikir kepada Allah. Sesungguhnya segala yang ada di semesta ini selalu bertasbih kepada Allah. Dikisahkan bahwa suatu saat nanti akan tiba masanya, ketika manusia akan mengalami kelaparan, uang sudah tidak bisa lagi memuaskan, manusia selalu merasa lapar dan kekurangan, hanya dzikirlah yang mampu mengenyangkan manusia, itulah tanda akhir zaman. Tanda-tandanya sudah ada, ketika manusia berlomba-lomba memperbanyak harta, sikut sana sikut sini, tak peduli kawan atau karib, mereka saling menjatuhkan, mereka tak pernah puas akan nikmat yang telah didapat, tak pernah bersyukur. Naudzubillah. Maka, untuk meneladani Rasulullah senatiasalah berdzikir kepada Allah SWT. Paham?”. Prof. Sofyan tersenyum.
“Nah, sekarang pertanyaannya apa yang harus dicontoh dari Rasulullah?” Tanya Prof. Sofyan.
“Teladannya, pak” jawab salah seorang diantara kami.
“Iya contoh itu teladan, hehe jadi apa yang harus diteladani dari Rasulullah?”. Timpal Prof. Sofyan sambil tertawa, kami pun ikut tertawa.
“Semuanya, pak... syari’atnya pak...”. Jawab beberapa di antara kami, termasuk Pak Cucu juga ikut menjawab.
“Semuanya? Iyah apa semuanya teh? Masih sangat luas. Nah baiklah, ada tiga hal yang bisa kita contoh dari Rasulullah SAW. Ada Qaulun (ucapannya), Fi’lun (Perbuatannya) dan Takhriirun (Tindakannya). Maenya santri nu sapopoe sare di kobong teu apal naon anu kudu di conto ti Rasul (Masa santri yang sehari-hari diam di kamar pesantren tidak tahu apa yang harus dicontoh dari Rasul). Hahahaha”. Beliau menyindir kami dengan tawanya, tapi kami juga ikut tertawa.
“Rasulullah sepanjang hidupnya, setiap tutur katanya tidak pernah menyinggung perasaan orang lain. Beliau selalu menggunakan tutur kata yang santun. Ada enam tingkatan bahasa yang santun? Sok apa aja ke enam tingkatan tersebut?” Prof. Sofyan mencoba menguji kami kembali. Dan diantara kami tetap tak ada yang bisa menjawab.
“Ya Allahu Rabbi, ieu santri anu cicing di kobong Al-Furqan masih keneh teu apal. Tuda gawena sare, ari isuk-isuk Ustadzna ngaji, manehna sare, geus siang masih keneh sare, jadi we katelah santri 1001 mimpi, ngan sare we pagaweanna. (ini santri yang tinggal di Al-furqan masih saja tidak tahu. Pasti kerjanya tidur, kalau pagi-pagi Ustadznya ngaji, dianya malah tidur, udah siang masih aja tidur, jadi dikenal santri 1001 mimpi, cuman tidur kerjaannya) Hahahhaha ”. Sindirannya kembali membuat kami tertawa.
“Ada enam tingkatan bahasa yang santun, qaulan sadiidan (tutur kata yang baik), qaulan kariiman (tutur kata yang mulia), qaulan Balighon (tutur kata yang mudah dipahami), qaulan maesyuro (tutur kata yang sampai), sama dua lagi apa ya?” Prof. Sofyan sedikit lupa, dan mencoba mengingatnya.
“...qaulan ma’rufa (tutur kata yang diketahui) dan qaulan layihan (tutur kata yang lemah lembut)”. Setelah aku tengok, ternyata Pak Cucu yang menambahi.
Prof. Sofyan tersenyum dan bertanya kepada Pak Cucu “Timana? (Dari mana?)”, nampak jika Prof. Sofyan kagum akan wawasan Pak Cucu. “Dari IPAI, pak”. Jawab Pak Cucu dengan suara rendah.
“Tutur katanya yang santun disertai dengan perbuatannya yang selaras. Begitulah Rasulullah memberikan teladan kepada kita. Adapun tindakannya yang bisa kita contoh, adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah selalu yang terbaik bagi umatnya, setiap perkara yang diputuskan akan memberikan maslahat bagi umatnya. Sungguh sempurnanya pribadi Rasulullah, banggalah menjadi Muslim, banggalah menjadi umatnya. Namun, mengapa remaja saat ini malu akan identitas muslimnya? Bagaimana pun juga kita tidak bisa memaksakan, tetapi kita bisa mengingatkan, menasihatinya dengan memberikan contoh, seperti Rasulullah SAW.” Prof. Sofyan menjelaskan.
Aku semakin mencintai Rasulullah, “Aku cinta Rasulullah, dan aku tak akan pernah malu memperlihatkan identitas muslimku, bahkan ketika harus berada di negeri yang membenci Islam” gumamku dalam hati.
Waktu telah menunjukan pukul 19.26 WIB. Sudah masuk waktu Isya’. Akhirnya diskusi malam ini harus ditutup. Akh sayang sekali, padahal ingin sekali aku bertanya kepadanya.
“Semoga dengan meneladani Rasulullah, kita menjadi manusia yang dimuliakan oleh Allah SWT., semoga kelak kita mendapat syafa’at darinya, amiin”.
Diskusi malam ini ditutup dengan do’a kifaratul majlis... Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuhu...
Senin sore, hampir saja aku lupa kalau malam ini ada pengajian rutin di masjid kampusku, Al- Furqan Islamic Center. Aku segera bergegas bersiap-siap berangkat, waktu telah menunjukan pukul 17.45 WIB. “Mengapa bisa lupa Ya Allah, maafkan anak Adam ini Ya Allah, aku mohon ridho-Mu, kuatkanlah kembali ingatanku” sesalku dalam hati. Aku segera berangkat agar bisa mengikuti shalat maghrib berjama’ah disana.
Aku tiba ketika adzan maghrib telah berkumandang, segera aku mengambil air wudlu, menunaikan shalat wajib tiga raka’at berjama’ah dan bersiap mengikuti pengajian, majelis ilmu penuh hikmah.
---
Diskusi malam, Senin 12 Januari. Semoga berkah..
Prof. Sofyan, salah satu guru besar di kampus menjadi pembicara pada diskusi malam ini. Pembahasannya tentang bagaimana meneladani sikap Rasulullah, sangat pas karena sekarang telah masuk bulan Rabi’ul Awal, dalam kalender Hijriyah. Bulan Rabi’ul Awal adalah bulan kelahiran Rasulullah SAW, rahmatan lil’alamiin.
Aku melihat ke arah kanan dan kiri ku, sungguh sangat miris. Kurang lebih hanya sepuluh orang yang mengikuti diskusi malam ini, salah satunya dosenku di perkuliahan. Biarlah, semoga insan yang hadir malam ini kelak akan menjadi insan dengan kualitas unggul, dunia dan akhiratnya.
Diskusi segera dimulai.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuhu”. Buka Prof. Sofyan. Kami serentak menjawab salam tersebut. Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, dan rahmat Allah dan keberkahan-Nya, begitulah maksudnya.
“Puji dan syukur, mari kita panjatkan kepada Allah SWT., Tuhan semesta alam. Sungguh tidak pernah berhenti dan tidak pernah habis nikmat-Nya kepada kita semua. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia-lah pemilik Hari Pembalasan. Dia-lah, hanya dia yang patut kita sembah, Dia-lah, hanya Dia yang patut menjadi tempat kita meminta pertolongan-Nya. Semoga Allah senantiasa, menunjukan kepada kita jalan yang lurus. Jalan yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat-Nya, bukan jalan yang dimurkai atau jalan orang-orang yang sesat”. Arti surat Al-Fatihah menjadi mukadimah.
“Sungguh, siapa saja di antara kita yang bersyukur, niscaya Allah akan menambah nikmat-Nya. Dan siapa saja yang ingkar akan nikmat Allah, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang sangat pedih. Itulah janji Allah. Nah, aya nu terang ayeuna sasih naon? (Ada yang tahu sekarang bulan apa?)”. Prof. Sofyan bertanya untuk mengawali pembahasan.
“Sasih Januari, pak” “Sasih Mulud, pak”.
Beberapa di antara kami menjawab
“Dasar urang Sunda, apalna teh bulan Mulud, abong sok aya Muludan.(Dasar orang Sunda, tahunya tuh bulan Maulid, mentang-mentang suka ada Maulidan) hehehe. Di dalam kalender Hijriyah tidak ada yang namanya bulan Mulud. Bulan Januari? Iya bener, tapi itumah untuk tahun Masehi. Ayo, sekarang bulan apa?”. Jawaban Prof. Sofyan dengan bahasa Sunda yang loma diikuti tawanya yang renyah, mampu mencairkan suasana.
“Bulan Rabi’ul Awal”. Jawab salah seorang di antara kami. Aku menengok, ternyata Pak Cucu yang menjawab. Seperti kataku di atas, beliaulah yang aku maksud dosenku di perkuliahan. Dosen pada mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam.
“iya, tepat. Bulan Rabi’ul Awal. Hati-hati nanti ditanya lagi masih jawab bulan Mulud, maenya mahasiswa engga tahu bulan-bulan Islam. Hehehe”. Masih dengan tawanya.
“Pada bulan Rabi’ul Awal, dilahirkan seorang laki-laki pilihan Allah yang kelak membuka cakrawala umat untuk berfikir, dialah Baginda Muhammad Rasulullah SAW. Beliau adalah cahaya bagi umatnya yang masih diselimuti kegelapan menuju terang benderang. Beliau adalah teladan, sebaik-baiknya teladan yang mampu menuntun kita mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat”.
“Allah berfirman ‘Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu...’(QS. Al-Ahzab:21). Asbabun nuzul ayat di atas yaitu ketika Rasulullah hendak mempersiapkan perang Khandak. Dikisahkan bahwa saat itu kaum Muslim berada dalam kelaparan hebat. Di bawah terik matahari yang membakar kulit, Rasulullah dan kaum Muslim menggali parit. Santapan yang mereka makan hanyalah sebiji kurma yang dibagi-bagi. Perang Khandak adalah perintah dari Allah, strategi dengan membuat parit adalah usulan dari Salman Al-Farisi, sahabat nabi yang berasal dari Persia. Parit yang disiapkan mengelilingi Madinah kecuali daerah perbukitan yang terjal--bertujuan untuk menghalau kaum Kafir yang hendak menyerang. Tak terkira kelaparan yang melanda kaum Muslim saat itu, sehingga banyak di antara mereka yang memohon izin pulang sebentar kepada Rasulullah, alasannya untuk menengok keluarganya di rumah, membawa perbekalan dsb., akan tetapi kebanyakan di antara mereka tidak datang kembali. Disinilah iman kaum Muslim diuji oleh Allah SWT., akibat kelaparan yang hebat, para sahabat harus mengganjal perutnya dengan sebuah batu yang diikatkan dengan tali dari kain pakaiannya. Peristiwa ini membuat di antara mereka saling mengeluh dan mulai ragu bisa menang dalam perang Khandak. Lalu, bagaimana dengan Rasulullah SAW? Sungguh beliau adalah teladan umat, ketika para kaum Muslim sibuk mengeluh dan meragu, beliau tetap tenang dan tetap optimis. Bahkan ketika para sahabat melihat ke arah perutnya, betapa mereka kaget ketika melihat Rasulullah mengganjal perutnya dengan dua buah batu”. Prof. Sofyan menghela nafas dan minum air yang telah disediakan.
“Kata laqad pada ayat tersebut adalah sebuah Talqin artinya benar- benar. Maksudnya Allah menekankan dengan sungguh-sungguh bahwa memang terdapat tauladan yang baik pada diri Rasulullah SAW. Nah, rekan-rekan, lalu bagaimana kita bisa mencontoh perilaku Rasulullah? Apakah kita bisa mencontoh perilaku Rasulullah?” Prof. Sofyan melemparkan pertanyaan.
“......” Saya berpikir.
“Bi..sa pak” Jawab beberapa di antara kami dengan ragu-ragu.
“Bagaimana caranya?” Prof. Sofyan kembali bertanya.
“Dengan mengikuti contohnya pak” jawab salah seorang di antara kami.
“Contoh apanya? Itu terlalu luas. Baik, cara meneladani Rasulullah ada tiga. Pertama, Yarjullahi, artinya senantiasa mengharapkan ridho Allah. Segala hal yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mengharapkan ridho Allah. Kita bekerja niatkan hanya untuk mencari ridho Allah. Nah, sebagai mahasiswa juga, setiap langkah menuju kelas, mencari ilmu, niatkan hanya untuk mengharap ridho Allah SWT. Ade-ade mahasiswa yang jauh-jauh datang dari berbagai sudut negeri ke Bandung, untuk berkuliah disini niatkan lillahita’ala. Ade-ade yang masuk ke berbagai fakultas, itu hanyalah untuk ketertiban administrasi, sesungguhnya masa depan yang baik adalah masa depan yang penuh dengan keridhoan-Nya.”
“Yang kedua, Walyaumil akhiri, yaitu orang yang selalu mengingat hari akhir. Mereka yang percaya bahwa kiamat itu ada. Mereka yang percaya bahwa Hari Pembalasan itu menanti. Maka tiadalah dalam dirinya melainkan untuk selalu melakukan yang terbaik sebagai bekal di akhirat. Ada yang tahu kisah Al-Qamah? Dikisahkan pada masa Rasulullah, ada seorang anak yang sangat durhaka terhadap orangtuanya, Al-Qamah namanya. Sampai suatu hari Al-Qamah dikabarkan berada dalam sakaratul maut, sangat sulit sekali Al-Qamah mati, terus mengerang kesakitan. Akhirnya para sahabat bertanya kepada Rasulullah dan menjelaskan apa yang terjadi pada Al-Qamah. Rasulullah SAW. menjawab “Sesungguhnya Al-Qamah telah durhaka kepada orangtuanya, apakah orangtuanya masih hidup?”, para sahabat mengiyakan bahwa ibunya masih ada. “panggil orangtuanya” pinta Rasulullah. Akhirnya ibu dari Al-Qamah datang, Rasulullah memintanya untuk memaafkan Al-Qamah. Akan tetapi, ibu dari Al-Qamah enggan untuk memaafkan Al-Qamah karena menurutnya Al-Qamah sangat menyakiti hatinya. Mendengar hal itu, Rasulullah meminta kepada para sahabat untuk mengumpulkan kayu bakar—membakar Al-Qamah. Sebagai seorang ibu, mendengar anaknya akan dibakar membuat hatinya luluh. Akhirnya ibu Al-Qamah menghampiri anaknya dan memeluk Al-Qamah “ibu memafkanmu nak”. Akhirnya Al-Qamah meninggal. Nah, yang namanya orangtua mah, cek paribasa Sunda mah, landung kandungan... terus apa kelanjutannya?” Prof. Sofyan bertanya.
“....” hening, tak ada yang tahu.
“haduh, ieu orang Sunda tapi paribasa nu kieu oge teu apal, tong jadi orang Sunda (haduh, ini orang Sunda tapi peribahasa yang seperti ini aja engga tahu, tidak perlu jadi oran Sunda) haha”. Kami tertawa, sindirannya sangat halus.
“Landung kandungan, laer aisan. Artinya mau sabedegong-bedegongna (senakal-nakalnya) anak, yang namanya orang tua mah pasti selalu ingin yang terbaik buat anaknya, selalu mendo’akan yang terbaik buat anaknya, memaafkan tingkah laku yang menyakiti hatinya. Begitu pula yang terjadi pada Al-Qamah. Orang yang percaya akan hari kiamat, akan menyiapkan kematiannya dengan baik dengan istiqamah melakukan amal baik”. Lanjut Prof. Sofyan.
“Tapi pak, ada orang yang senantiasa berbuat baik namun meninggalnya susah, sedangkan ada yang baragajul, tukang kadek, tukang mabok, tukang mukaan rok (yang jahat, suka membunuh, suka mabuk, suka memperkosa) namun meninggalnya mudah, nah itu gimana pak?” Salah seorang di antara kami bertanya.
“Kejadian ini juga pernah terjadi di zaman Rasulullah, yang kemudian pernah ditanyakan oleh para sahabat. Rasulullah menjawab “Sesungguhnya orang yang buruk amalnya namun meninggalnya dimudahkan oleh Allah SWT., tidak lain Allah hanya ingin membalas kebaikannya, karena seburuk-buruknya orang tersebut pasti pernah melakukan kebaikan, sehingga ketika nanti yang tersisa hanyalah siksa yang pedih. Sedangkan, orang yang amalnya baik namun meninggalnya susah, tidak lain karena Allah ingin memberikan siksaan kepadanya, karena sebaik-baiknya orang pasti pernah melakukan kesalahan, sehingga ketika nanti yang tersisa hanyalah amal baik, dan baginyalah nikmat yang tiada habis-habisnya” begitulah Allah dalam memberikan balasan”. Jawab Prof. Sofyan.
Kami mengangguk paham.
“Bahkan menurut hasil survei menyebutkan bahwa orang Eropa sangat takut akan kematian, maka ketika telah menginjak usia tua kebanyakan orang Eropa sangat gelisah, gelisah menghadapi kematiannya. Itulah azab bagi orang yang tidak percaya akan adanya Hari Pembalasan, mereka dibuat gelisah menjelang ajalnya, seolah-olah bagi mereka kehidupan yang fana’ ini sebagai kehidupan terakhir. Mereka pun sangat heran terhadap kaum Muslim, karena semakin tua mereka semakin tenang. Apa penyebabnya? Ternyata sikap aslamu, sikap pasrah kepada Allah adalah faktor yang membuat kaum Muslim begitu tenang menjelang kematiannya”. Tambah Prof. Sofyan.
“Yang ketiga, wadzakarallahi katsiiro, orang yang banyak mengingat Allah SWT. Beruntunglah mereka yang senantiasa berdzikir kepada Allah. Sesungguhnya segala yang ada di semesta ini selalu bertasbih kepada Allah. Dikisahkan bahwa suatu saat nanti akan tiba masanya, ketika manusia akan mengalami kelaparan, uang sudah tidak bisa lagi memuaskan, manusia selalu merasa lapar dan kekurangan, hanya dzikirlah yang mampu mengenyangkan manusia, itulah tanda akhir zaman. Tanda-tandanya sudah ada, ketika manusia berlomba-lomba memperbanyak harta, sikut sana sikut sini, tak peduli kawan atau karib, mereka saling menjatuhkan, mereka tak pernah puas akan nikmat yang telah didapat, tak pernah bersyukur. Naudzubillah. Maka, untuk meneladani Rasulullah senatiasalah berdzikir kepada Allah SWT. Paham?”. Prof. Sofyan tersenyum.
“Nah, sekarang pertanyaannya apa yang harus dicontoh dari Rasulullah?” Tanya Prof. Sofyan.
“Teladannya, pak” jawab salah seorang diantara kami.
“Iya contoh itu teladan, hehe jadi apa yang harus diteladani dari Rasulullah?”. Timpal Prof. Sofyan sambil tertawa, kami pun ikut tertawa.
“Semuanya, pak... syari’atnya pak...”. Jawab beberapa di antara kami, termasuk Pak Cucu juga ikut menjawab.
“Semuanya? Iyah apa semuanya teh? Masih sangat luas. Nah baiklah, ada tiga hal yang bisa kita contoh dari Rasulullah SAW. Ada Qaulun (ucapannya), Fi’lun (Perbuatannya) dan Takhriirun (Tindakannya). Maenya santri nu sapopoe sare di kobong teu apal naon anu kudu di conto ti Rasul (Masa santri yang sehari-hari diam di kamar pesantren tidak tahu apa yang harus dicontoh dari Rasul). Hahahaha”. Beliau menyindir kami dengan tawanya, tapi kami juga ikut tertawa.
“Rasulullah sepanjang hidupnya, setiap tutur katanya tidak pernah menyinggung perasaan orang lain. Beliau selalu menggunakan tutur kata yang santun. Ada enam tingkatan bahasa yang santun? Sok apa aja ke enam tingkatan tersebut?” Prof. Sofyan mencoba menguji kami kembali. Dan diantara kami tetap tak ada yang bisa menjawab.
“Ya Allahu Rabbi, ieu santri anu cicing di kobong Al-Furqan masih keneh teu apal. Tuda gawena sare, ari isuk-isuk Ustadzna ngaji, manehna sare, geus siang masih keneh sare, jadi we katelah santri 1001 mimpi, ngan sare we pagaweanna. (ini santri yang tinggal di Al-furqan masih saja tidak tahu. Pasti kerjanya tidur, kalau pagi-pagi Ustadznya ngaji, dianya malah tidur, udah siang masih aja tidur, jadi dikenal santri 1001 mimpi, cuman tidur kerjaannya) Hahahhaha ”. Sindirannya kembali membuat kami tertawa.
“Ada enam tingkatan bahasa yang santun, qaulan sadiidan (tutur kata yang baik), qaulan kariiman (tutur kata yang mulia), qaulan Balighon (tutur kata yang mudah dipahami), qaulan maesyuro (tutur kata yang sampai), sama dua lagi apa ya?” Prof. Sofyan sedikit lupa, dan mencoba mengingatnya.
“...qaulan ma’rufa (tutur kata yang diketahui) dan qaulan layihan (tutur kata yang lemah lembut)”. Setelah aku tengok, ternyata Pak Cucu yang menambahi.
Prof. Sofyan tersenyum dan bertanya kepada Pak Cucu “Timana? (Dari mana?)”, nampak jika Prof. Sofyan kagum akan wawasan Pak Cucu. “Dari IPAI, pak”. Jawab Pak Cucu dengan suara rendah.
“Tutur katanya yang santun disertai dengan perbuatannya yang selaras. Begitulah Rasulullah memberikan teladan kepada kita. Adapun tindakannya yang bisa kita contoh, adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah selalu yang terbaik bagi umatnya, setiap perkara yang diputuskan akan memberikan maslahat bagi umatnya. Sungguh sempurnanya pribadi Rasulullah, banggalah menjadi Muslim, banggalah menjadi umatnya. Namun, mengapa remaja saat ini malu akan identitas muslimnya? Bagaimana pun juga kita tidak bisa memaksakan, tetapi kita bisa mengingatkan, menasihatinya dengan memberikan contoh, seperti Rasulullah SAW.” Prof. Sofyan menjelaskan.
Aku semakin mencintai Rasulullah, “Aku cinta Rasulullah, dan aku tak akan pernah malu memperlihatkan identitas muslimku, bahkan ketika harus berada di negeri yang membenci Islam” gumamku dalam hati.
Waktu telah menunjukan pukul 19.26 WIB. Sudah masuk waktu Isya’. Akhirnya diskusi malam ini harus ditutup. Akh sayang sekali, padahal ingin sekali aku bertanya kepadanya.
“Semoga dengan meneladani Rasulullah, kita menjadi manusia yang dimuliakan oleh Allah SWT., semoga kelak kita mendapat syafa’at darinya, amiin”.
Diskusi malam ini ditutup dengan do’a kifaratul majlis... Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuhu...