Selasa, 15 April 2014

Sejarah Sebagai Humaniora dan sebagai Ilmu Sosial

Udah lama engga posting nih :) postingan kali ini mungkin bisa bermanfaat buat rekan-rekan yang belajar di Jurusan Sejarah/ Pendidikan Sejarah. Kali ini saya akan memposting blog yang berjudul Sejarah sebagai Humaniora dan sebagai Ilmu Sosial, hal ini didasari oleh temuan saya di kelas bahwa banyak sekali rekan-rekan yang kurang mengerti mengenai hal tersebut. Maka dari itu, saya mencoba menyederhanakan penjelasannya dan mengambil bagian-bagian penting dari sumber referensi lain.
oke, engga perlu berlama-lama, check it out :D untuk memudahkan pemahaman, maka saya buat pembahasan ini seperti makalah.



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat saat ini, sangat perlu adanya nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung. Dengan nilai-nilai tersebut memungkinkan kondisi yang dicita-citakan dapat terwujud. Namun, seiring modernisasi dan globalisasi yang semakin cepat dan tak bisa dihindari, maka orang-orang saat ini cenderung meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu pula yang terjadi di sekolah- sekolah saat ini, siswa-siswi hanya mendalami ilmu eksakta dalam belajarnya sedangkan ilmu sosialnya cenderung mereka abaikan. Hal ini menimbulkan dua sisi yang seolah berdampingan akan tetapi terjadi tabrakan nilai-nilai. Di satu sisi, siswa-siswi disini akan memperlihatkan daya saing mereka antar individu dalam proses pembelajaran, karena pada dasarnya ilmu eksakta akan meningkatkan tingkat kecerdasan siswa-siswi dalam aspek kognitif. Namun disisi lain, akan memperlihatkan persaingan mereka yang sifatnya individualistis, tidak peduli terhadap sesama (apatis) dan seolah-olah teman-teman sekelas adalah musuh. Hal ini banyak terjadi pada mereka yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang banyak terdapat pada ilmu sosial, khususnya sejarah.
Dengan demikian, pendidikan humaniora sangat penting diterapkan di sekolah-sekolah dengan tujuan dapat menyeimbangkan antara aspek kognitif dengan apektif siswa-siswi. Dengan pendidikan humaniora, siswa-siswi dapat belajar bagaimana cara berbangsa, bernegara dan beretika dalam bermasyarakat yang baik, karena siswa-siswi inilah yang selanjutnya akan menjadi the new generations bagi negeri ini di masa depan. Dengan sejarah, tentunya akan mampu menjadikan the new generations menjadi the golden age generations, karena sejarah mampu mengembangkan identitas sosial dan prospek masa depan melalui gudang-gudang pengalaman dan ingatan kolektif.
Saat ini sejarah merupakan bagian dari rumpun ilmu sosial. Meskipun begitu, ada keunikan tersendiri pada sejarah dibanding dengan disiplin ilmu sosial lainnya. akan tetapi, beberapa keunikan ini menyebabkan perdebatan mengenai pemasukan sejarah sebagai ilmu dan bagian dari ilmu sosial. Dengan beberapa masalah diatas, menimbulkan minat kami untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai humaniora dan juga sejarah sebagai ilmu sosial.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan posisi sejarah dalam ilmu pengetahuan?
2.      Mengapa terjadi permasalahan mengenai sejarah sebagai ilmu?
3.      Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai humaniora?
4.      Apa fungsi sejarah sebagai humaniora dalam dunia pendidikan?
5.      Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai seni dan ilmu?
6.      Bagaimana pendekatan antara sejarah dengan ilmu sosial lainnya?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui penjelasan dimana letak sejarah dalam ilmu pengetahuan.
2.      Untuk mengetahui apa yang menjadi masalah mengenai sejarah sebagai ilmu sehingga banyak menimbulkan perdebatan.
3.      Untuk mengetahui maksud dari pengertian sejarah sebagai humaniora.
4.      Untuk mengetahui apa fungsi sejarah sebagai humaniora.
5.      Untuk mengetahui maksud dari sejarah sebagai ilmu dan seni, serta
6.      Untuk mengetahui seperti apa pendekatan antara sejarah dengan ilmu sosial lainnya.
D.  Manfaat Penulisan
Besar harapan penulis untuk mampu menjadikan makalah ini sebagai sumber acuan atau referensi bagi rekan-rekan mahasiswa untuk lebih memahami mengenai apa arti dari sejarah sebagai humaniora dan ilmu sosial. Mengingat betapa pentingnya nilai- nilai kemanusiaan kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu pula, banyak perdebatan mengenai apakah pantas sejarah dimasukkan sebagai ilmu, sedangkan sejarah memiliki perbedaan dengan ilmu- ilmu sosial apalagi ilmu eksakta. Penulis berharap semoga makalah ini mampu memberikan cahaya yang lebih terang dalam memahami posisi sejarah sebagai ilmu sosial bagi rekan- rekan mahasiswa.
BAB II
SEJARAH SEBAGAI HUMANIORA dan SEBAGAI ILMU SOSIAL
A.  Perkembangan Sejarah Sebagai Ilmu
Sejarah adalah salah satu disiplin ilmu tertua yang embrio-embrionya telah ada dalam cerita-cerita rakyat atau mitos yang berkembang dalam kehidupan di masyarakat yang paling sederhana. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homo sapiens memiliki potensi untuk menyimpan pengalamannya di dalam memorinya (ingatan), dan sewaktu-waktu diperlukan dapat diproduksi (keluarkan) baik dalam angan- angannya maupun dalam bentuk cerita (Kartodirdjo, 1993: 58). Sehingga pada mulanya, sejarah banyak meriwayatkan tokoh- tokoh mitologis dan kepahlawanan (sage), dan memuat banyak mitos di dalamnya.
Penulisan sejarah sebetulnya telah ada sebelum Herodotus (198-117 SM), yaitu tulisan karya Homerus yang berjudul Illiad dan Odyssey (Supardan, 2011: 312). Syair Illiad yang berkisah mengenai perang antara Yunani dan Troya pada kurun waktu sekitar 1200 SM. Sedangkan syair odyssey berkisah mengenai petualangan panjang Odysseus setelah jatuhnya kota Troya. Tulisan ini muncul dalam bentuk puisi serta di dalamnya banyak memuat mitos dan lebih merupakan sebuah legenda daripada karya sejarah yang sesungguhnya. Bahkan peradaban Mesir, Sumeria, Babilonia dan Cina merupakan bangsa-bangsa yang memiliki perhatian besar terhadap sejarah. Meskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ilmu sejarah yang pertama, karena orang-orang Mesir, Sumeria, Babilonia dan Cina tidak menulis mengenai ilmu sejarah.
Penulis sejarah Yunani yang terkenal adalah Herodotus (198-117 SM) yang dijuluki sebagai “Bapak Sejarah”. Hal ini tidak terlepas dari sikap objektif yang ditunjukannya dalam karyanya yang berjudul History of the Persian Wars (Sejarah Perang-perang Persia). Herodotus melihat bahwa perang ini merupakan bentrokan dua peradaban yang berbeda, antara Yunani dan Persia. Berbeda dengan Homerus, Herodotus berusaha keras untuk melakukan inkuiri atau penelitian secara kritis dan memberi penjelasan-penjelasan yang naturalistik serta tidak banyak menunjukan adanya “campur tangan” para dewa. Adapun Thucydides yang menulis tentang The Peloponnesian War (431-404 SM) berkisah mengenai perang saudara antara dua polis yang berbeda antara  Athena dan Sparta. Sebuah hal yang penting bagi perkembangan penulisan sejarah adalah Thucydides mencoba mencari sebab dari segala peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan Polybius adalah sejarawan yang mengembangkan metode kritis dalam penulisan sejarah.
Sejarah yang mula mulanya berkisah mengenai tokoh mitologi dan kepahlawanan, di dalamnya juga banyak terdapat mitos, sehingga sangat sukar dibedakan antara permainan imajinasi dengan realita yang terjadi sebagaimana keadaannya. Di dalamnya sukar dibedakan antara Dichtung und Wahrnheit atau antara rekaan dengan yang sebenarnya (Ismaun, 2005: 150). Mengatasi hal tersebut maka munculah kritik sejarah yang merupakan inti dari metodologi sejarah.
Kritik sejarah berkembang pada abad ke- 17 hingga akhirnya  mencapai taraf kematangan pada abad ke- 19. Kebangkitan sejarah sebagai disiplin ilmiah dimulai di Jerman, dimana Leopold von Ranke mencetuskan diktumnya dalam karyanya yang berjudul A Critique of Modern Historical Writers, bahwa tugas sejarah hanyalah menunjukan apa yang benar- benar telah terjadi (wie es eigentlich gewesen ist) (Ismaun, 2005: 152-153). Maka sejak abad ke- 18, para sejarawan mulai meninggalkan paradigma sejarah klasik. Mereka mulai memusatkan perhatian pada pemaparan narasi-narasi peristiwa politik yang terutama didasarkan pada dokumen- dokumen resmi.
Akan tetapi, setelah adanya perjuangan pemisahan antara sejarah dengan sastra dan seni untuk menjadikan sejarah sebagai ilmu, setingkat dengan ilmu- ilmu kealaman yang ketika itu mencapai puncak perkembangannya, ada proses dalam sejarah yang tidak cocok dengan proses-proses ilmiah, yang sesuai dengan ukuran ilmu- ilmu kealaman. Timbul sebuah kesadaran, meskipun sejarawan berpegang teguh terhadap ajaran Ranke ada soal-soal yang tidak bisa dipecahkan untuk membela pendiriannya.
Memang ciri- ciri pengetahuan yang ilmiah, menurut W. H. Walsh (Ismaun, 2005: 153) ialah: (1) diperoleh secara metodik dan disusun secara sistematis; (2) terdiri dari setidak- tidaknya mencakup sejumlah kebenaran umum; (3) memberikan kemampuan untuk membuat prediksi yang berhasil, sehingga dengan demikian kita dapat mengamati arah proses kejadian-kejadian ke arah masa depan, setidak- tidak dalam batas waktu tertentu; (4) objektif dalam pengertian bahwa setiap peneliti harus mau menerima kebenaran di dalamnya, bagaimanapun kecenderungan pribadinya.
Sebagai reaksi akan timbulnya “sejarah ilmiah”, timbullah dua macam anggapan mengenai ciri- ciri disiplin sejarah. Pertama, mereka berpendapat bahwa sejarah adalah disiplin ilmiah, akan tetapi merupakan ilmu yang khas, yang lain daripada ilmu kealaman. Kedua, mengatakan bahwa sejarah adalah tetaplah sebagai suatu seni, dalam konteks ini seni yang setingkat dengan ilmu.
Maka, baiknya kita melihat prosedur penulisan itu sendiri untuk mengatasi silang pendapat seperti ini. Sifat ilmiah dari sejarah dapat dilihat dari betapa tajamnya kritik sumber yang dipakai dalam meniliti sumber-sumber sejarah. Sifat ilmiah ini didapat seperti ketika sejarah menggunakan alat-alat atau bahan- bahan kimia untuk menentukan palsu tidaknya sebuah dokumen. Pada hakikatnya, sejarah adalah sebuah kisah, sehingga hasil penelitian tersebut belum dikatakan sebagai sejarah tanpa adanya narasi. Maka disamping sejarah yang ilmiah, sejarah pun masuk dalam seni karena penggunaan tata bahasa yang indah untuk menarik minat pembaca.
Kedudukan sejarah sebagai ilmu adalah khas dan unik, karena sejarah benar-benar memenuhi persyaratan sebagai ilmu jika dipandang dari sudut metode dalam taraf penelitian sumber- sumbernya. Sejarah dipandang sebagai seni dalam aspek kemahiran penafsiran atau interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian maupun dalam penyajian materi sejarah. Dalam interpretasi inilah sering menimbulkan apa yang dinamakan sebagai subjektivitas karena faktor latar belakang pengetahuan, keyakinan, pandangan hidup atau tujuan.
Maka sejarah bisa merupakan bagian dari ilmu humaniora karena ada unsur- unsur memelihara budaya dan memberi makna atas perkembangan umat manusia. Sejarah digolongkan sebagai ilmu sosial karena sejarah mencari generalisasi- generalisasi sosial dan pola- pola aktivitas manusia melalui analitis, kemudian sejarah memakai generalisasi tersebut untuk mendapatkan kekhususan atau spesialis (Gottschalk, 2008: 30).
Dengan demikian, sejarah mempunyai aspek masuk ke dalam ilmu-ilmu sosial, maupun masuk ke dalam ilmu humaniora. Baik yang unik dan khas atau yang berulang dan umum. Sesuai dengan guna pada suatu waktu yang kita pentingkan, guna reflektif dan guna inspiratif lebih memerlukan peristiwa- perisitiwa yang digambarkan secara unik dan khas. Sedangkan guna instruktif ataupun edukatif lebih memerlukan penyajian yang dititikberatkan  pada yang berulang dan umum.
B.  Permasalahan Sejarah Sebagai Ilmu
Pada abad ke- 18 dan ke- 19 perkembangan ilmu mencapai fase positivisme yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu alam, sehingga diberi fungsi normatif untuk menentukan seberapa jauh pelbagai cabang ilmu dapat digolongkan sebagai ilmu, bahkan dominasi pikiran positivisme ini masih sangat kuat hingga abad ke- 20. Dalil-dalil atau hukum- hukum yang dapat dirumuskan sehingga mampu membuat generalisasi dan memprediksi atau membuat proyeksi ke masa depan  merupakan salah satu kriteria yang digunakan (Kartodirdjo, 1993: 126-127).
Menurut aliran positivisme, ilmu kemanusiaan, khususnya sejarah, tidaklah bisa dikatakan sebagai ilmu karena memang tidak mampu membuat hukum- hukum. Sama halnya sejarah sebagai ilmu menurut Auguste Comte (1798-1857) dalam bukunya yang berjudul Course de Philosophie Positive, metodologi ilmiah umum, artinya dapat diterapkan terhadap semua ilmu pengetahuan yang ada (Kartodirdjo, 1980: 18). Artinya, bagi Comte, sejarah harus menerapkan metode dengan prosedur yang sama seperti halnya dalam fisika.
Pada akhir abad ke- 19 timbul reaksi dari golongan yang terkenal sebagai kaum neo-Kantianis sebagai sanggahan atas pendapat kaum positivisme. Golongan ini dipelopori oleh beberapa filsuf Jerman seperti Johan Gustav Droysen (1808-1884), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Heinrich Rickert (1863-1936) serta Wilhelm Windelband (1848-1915) yang kemudian mendapat dukungan dari beberapa kalangan filsuf dari luar Jerman, seperti Benedetto Croce dari Italia (1866-1952) dan R. G. Collingwood dari Inggris (1889- 1945). Mereka menerangkan sejarah berdasarkan teori idealisme bahwa adanya perbedaan fundamental antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu kealaman. Dalam ilmu ada dikhotomi, yaitu ilmu alam (realie) dan ilmu humaniora atau ilmu kemanusiaan, keduanya generik dan berdiri sejajar, masing- masing mempunyai kedudukan otonom (Kartodirdjo, 1993: 127).
   Skema dikotomi menurut Sartono Kartodirdjo:
Ilmu Alam
Ilmu Kemanusiaan
1.        Nomothetis
2.        Generalisasi
3.        Deskriptif- analitis
4.        Eksplanasi
5.        Kuantitatif
6.        Objektif
1.     Idiografis
2.     Keunikan
3.     Deskriptif- naratif
4.     Interpretasi
5.     Kualitatif
6.     Subjektif
           
Dalam ilmu kealaman diadakan tinjauan terhadap gejala-gejala yang serba universal atau generalis, sedangkan dalam humaniora diadakan tinjauan terhadap gejala-gejala serba unik atau individual. Dalam ilmu kealaman bersifat nomothetis atau menjabarkan hukum- hukum, sedangkan dalam ilmu humaniora bersifat idiografis, yakni menggambarkan pengertian- pengertian dengan mengadakan individualisasi dan memperhatikan keunikan (Ismaun, 2005: 163-164).
Generalisasi dicapai melalui analisis, sedangkan gambaran yang khusus dicapai melalui narasi. Apabila ilmu alam bersifat kuantitatif, maka ilmu humaniora lebih bersifat kualitatif. Penggunaan kausalitas dalam menghubungkan sebuah gejala menjadikan ilmu alam terumuskan dalam sebuah eksplanasi, sedangkan hubungan kualitatif dirumuskan dengan menggunakan interpretasi (tafsiran). Dengan demikian, terlihat bahwa ilmu alam akan lebih bersifat objektif terhadap objek kajiannya, sedangkan ilmu humaniora mempunyai tendensi cara kerja subjektif. Dalam hal ini, ilmu sosial mengambil tempat di tengahnya tetapi cenderung lebih dekat kepada ilmu alam karena kajiannya tentang tindakan dan kelakuan manusia menunjukan perhatian kepada keteraturan atau keajegan. Jadi, dalam mengamati pola, struktur, lembaga, kecenderungan, semuanya mirip dengan hukum- hukum.
Dikotomi (pemisahan atau pembelahan) dalam ilmu antara ilmu alam dengan humaniora yang disebabkan pertentangan antara teori positivisme dengan teori idealisme mengakibatkan adanya dua pendapat mengenai sejarah sebagai ilmu, yaitu sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial dan sejarah sebagai humaniora. Sejarah sebagai ilmu-ilmu sosial lebih cenderung pada aspek nomothetis sedangkan sejarah sebagai humaniora masuk ke dalam aspek idiografis.
Pertentangan antara teori positivisme dengan teori idealisme sebenarnya bisa dikurangi ketajamannya dan didekatkan dalam suatu sintesis. Hukum alam yang keras bagaikan “hukum besi” dan mempertahankan determinismenya tidak sekeras dahulu menurut anggapan semula. Dalam psikologi, bahkan dalam fisika sendiri, dalam mekanika dan astronomi dikenal prinsip-prinsip relativitas atau kenisbian (Ismaun’ 2005: 169).
Dalam sejarah, selain memusatkan perhatian pada yang serba unik, harus juga dapat melihat pada suatu yang seba unik, khusus dan individual ada faset serba umum dan ada fenomena yang berulang dengan tendensi serba universal. Artinya sesuatu yang serba unik tidak dapat dinyatakan dengan menyampingkan yang serba umum, sebaliknya sesuatu yang serba umum tidak dapat ditunjukan tanpa memperhatikan yang serba unik.
Dalam menerangkan sejarah maka harus  dengan mencari koligasi antar fakta- fakta sejarah, dicarilah hubungan intrinsik antar fakta dan dan fungsi fakta- fakta. Koligasi antar fakta dalam penulisan sejarah sangat penting sehingga cerita dalam sejarah tidak hanya mengenai tentang apa, dimana, kapan dan siapa, akan tetapi juga harus menjelaskan  bagaimananya dan sebab peristiwanya.
Sejarah memberikan pengetahuan perspektif, yaitu pengetahuan berupa interpretasi atau penafsiran yang ditentukan oleh pandangan kita terhadap peristiwa-peristiwa sejarah. Ada berbagai macam cerita sejarah dimulai dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit atau sering disebut dengan istilah sophisticated, dari yang naif sampai yang sangat kritis. Pada umumnya sebagian besar cerita-cerita sejarah berbentuk uraian mengenai peristiwa-peristiwa dalam urutan kronologis dan deskripsi tokoh- tokoh serta situasi dan kondisinya (Ismaun, 2005: 172).
Dalam perkembangan sejarah sebagai ilmu telah banyak timbul banyak persoalan mengenai metodologinya. Sebagian besar sejarawan saat ini tidak membedakan dirinya antara golongan sejarawan sebagai ilmuan humaniora dengan golongan sejarawan sebagai ilmuwan sosial. Persoalan tersebut diantaranya, (1) mengenai pendekatan, generalisasi kontra individualisasi, umum dengan abstrak atau nomothetis kontra idiografis; (2)  mengenai metode, sistem kontra kiat seni (art), maksudnya sejarawan ilmu sosial menggunakan metodologi dengan prosedur dalam suatu sistem yang ketat untuk merumuskan  keumuman atau generalisasi. Sedangkan sejarawan humaniora biasanya tidak memulai dengan pernyataan hipotesis (dugaan sementara), meskipun ia beranggapan menggunakan metode yang ketat; (3) mengenai analisis, pro dan kontra kuantifikasi, maksudnya sejarawan sosial menggunakan aspek kuantitatif seperti angka- angka statistik meskipun itu dalam bentuk perkiraan, sedangkan sejarawan humaniora bersikap skeptis terhadap kuantifikasi karena bagi mereka banyak sekali aspek- aspek yang tidak bisa diukur dengan angka- angka; (4) mengenai estetika, dimana sejarawan lebih mengutamakan ide untuk mencapai kecermatan dan kejelasan melalui keketatan metode analisis, sedangkan sejarawan humaniora mengutamakan ide untuk mencapai karya tulis sejarah yang bernilai sastra.
Penggunaan kuantifikasi atau angka-angka statistika mempunyai kelebihan tersendiri. Pertama, penyajian kuantitatif akan membantu para sejarawan menjelaskan argumennya secara sistematis dan jelas, serta mempersiapkan diri ketika adanya penolakan. Kedua, akan mendorong sejarawan untuk lebih memperhatikan keseluruhan rentetan perubahan dan keseluruhan corak yang kontras pada perbedaan antara perode-periode, situasi-situasi dan struktur- struktur. Ketiga, memungkinkan kepada peneliti yang lain dalam subjek yang sama untuk menambah, memperbaiki atau menolak hasil dari penelitian sebelumnya. Berdasarkan data kuantitatif dapat dihindari distorsi sejarah atau pemutar balikan fakta ataupun penyimpangan secara ideologis daripada pemakaian kualitatif dan intuitif (Ismaun, 2005: 176-177).
Namun, ada penolakan mengenai penggunaan kuantifikasi dalam penulisan sejarah, penggunaan data kuantifikasi menimbulkan kekaburan dan pengingkaran tanggung jawab. Argumentasi ini didasarkan secara ekstrem pada subjektivisme yang mendasar bahwa tidak ada sejarah yang objektif, karena sejarawan dikuasai oleh subjektivitas-subjektivitas masing-masing. Disamping itu, penggunaan data kuantifikasi sangat sulit untuk dilaksanakan karena sukarnya pengolahan, sulit dipelajari dan biayanya yang relatif sangat mahal.
Kritik berdasarkan subjektivisme  yang sangat ekstrem adalah sangat berbahaya. Kritik ini percaya bahwa semua kenyataan pada hakikatnya tidak dapat dikenali menurut sebagaimana keadaannya, atau ada keunikan- keunikan pada sifat- sifat insani, sehingga tidak dapat dipercaya kebenarannya, hal ini dapat menyesatkan atau anggapan ini harus ditolak. Carl Becker (Supardan, 2011: 318) mengatakan bahwa pemujaan terhadap fakta dan pembedaan fakta antara fakta keras dan fakta lunak merupakan sebuah ilusi. Sebab fakta sejarah tidaklah seperti batu bata yang mudah dipasang. Akan tetapi, fakta itu  sengaja dipilih oleh sejarawan yang relevan dengan kebutuhan penelitian.
Untuk itu, dalam menghadapi permasalahan yang yang mengandung komplikasi dan kontroversi, baiknya kita memiliki pendirian seperti, berusaha memperoleh pengetahuan sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan dengan argumentasi yang lebih meyakinkan dan dilengkapi dengan dokumentasi yang lebih baik. Selanjutnya, pengetahuan sejarah diupayakan penyajiannya dekat dengan kebenaran, dengan menafsirkan sejarah melalui pendekatan analitis-kritis, historis substantif dan sosial-budaya. Menggunakan cara pendekatan kualitatif ataupun kuantitatif sesuai dengan efektivitas dan kemampuan kita.
C.      Sejarah Sebagai Humaniora
Pengetahuan manusia umunya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan atau sering disebut dengan istilah humaniora. Pada mulanya sejarah merupakan bagian dari ilmu humaniora dan kemudian sejarah menjadi bagian dari disiplin ilmu- ilmu sosial.  Pengertian humaniora sampai saat ini masih belum baku, menurut Ralph Barton Perry (Sjamsuddin, 2007: 274) menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu adalah cabang-cabang dari pengetahuan santun. Ilmu kemanusiaan merupakan cabang-cabang dari kajian-kajian tertentu yang mempunyai kecenderungan untuk memanusiakan manusia (humanize) sebagai lawan dari ilmu fisika yang cenderung untuk mengembangkan kemampuan- kemampuan intelektual manusia.
Pokok-pokok kajian humaniora ialah filsafat, interpretasi tentang sastra dan sejarah, kritik tentang seni, musik dan teater yang semuanya membahas tentang batas-batas, kedalaman-kedalaman dan kapasitas-kapasitas dari semangat manusia. termasuk juga didalamnya pendidikan liberal yang merupakan lawan dari pendidikan praktis.
Sejarah dan Ilmu Kemanusiaan erat hubungannya dengan pendidikan, sebab digunakan untuk kepentingan pendidikan. Konsepsi klasik tentang Humaniora berasal dari tradisi Hellenistik paidagogia (Yunani = training, latihan) yang diperlukan bagi pendidikan umum untuk mengembangkan pribadi seseorang agar tumbuh harmonis dan seimbang. Sejarah Humaniora berawal dari retorik Socrates, seorang juru pidato dan guru pidato bangsa Yunani. Oleh orang Romawi konsepsi retorik dari Socrates ini dimasukkan dalam Artes Liberales atau pendidikan liberal sebagai suatu seni diskusi, yang sesuai tentang pemerintahan dan etika. Pendidikan liberal disini bisa diartikan untuk mengajarkan kepada manusia akan kebebasan dalam berpendapat.
Humaniora berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan. Pengetahuan ketika itu dibagi atas dua kelompok: pertama, Quadrivium yaitu ilmu berhitung seperti geometrika, astronomi, dan music, Kedua Trivium yaitu ilmu bahasa, dialektika, retorika, yang dikenal juga dengan artes liberales. Dalam perkembangan kemudian yang termasuk humaniora adalah bahasa, filsafat, musik, seni– seni visual, dan sejarah. Semuanya dipisahkan dengan matematika, sains, atau ilmu– ilmu alamiah serta ilmu– ilmu social yang baru berkembang kemudian.
Humaniora menekankan kepada kedua hal, yang pertama keunikan manusia di dalam alam dimana manusia sendiri, melalui intelegensinya, mampu mengontrol perkembangan fisik dan mental. Kedua, pencarian manusia akan nilai- nilai (values), dalam pencarian ini manusia mempergunakan daya-daya kreatifnya.
Mengenai alasan dilakukan pendekatan humaniora dalam pendidikan di sekolah-sekolah berpangkal pada kebutuhan-kebutuhan hidup modern yang mutakhir dari masyarakat yang sudah sangat industrialistis. Perkembangan ilmu alam dan teknologi telah meningkatkan taraf hidup, produksi, distribusi dan konsumsi barang- barang telah mencapai suatu puncak tertinggi. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tersebut bisa menjadi pemberontak akan kemapanan nilai-nilai keluarganya, sekolah, lingkungan hidup dan keagamaannya. Tetapi dalam peranannnya sebagai pemberontak, personalitasnya yang menonjol mendesaknya untuk bertindak, merasa, berpikir dan percaya kepada visi pribadinya tentang dunia. Keadaan ambivalensi terhadap masyarakat yang seperti ini, para siswa acapkali menolak tujuan-tujuan dan isi dari mata pelajaran yang diberikan.
Hal ini menjadikan manusia membutuhkan suatu pengetahuan tradisional yang relevan  sebagai tambahan terhadap pengetahuan yang diberikan setiap hari sebagai tuntutan untuk dapat hidup layak dalam suatu masyarakat industri. Dengan demikian, sebagai alasan utama dan sederhana dari humaniora adalah bahwa humaniora dapat mengisi kebutuhan pengetahuan tradisional dan mengingatkan mereka, bahwa dalam zaman mesinpun, mereka tetaplah manusia (Sjamsuddin, 2007: 279).
Menurut Earl C. Kelley (Sjamsuddin, 2007: 279), (Kartodirdjo, 2005: 184), ada enam dasar fundamental sebagai alasan tambahan kepada pendekatan ilmu- ilmu kemanusiaan berasal dari kebutuhan untuk mendidik orang-orang untuk hidup dalam masyarakat demokratis, yaitu pertama manusia memerlukan manusia lainnya, artinya manusia ketika pertama kali lahir harus dibesarkan dan belajar lebih dahulu kepada orang lain, tanpa itu semua manusia akan mati, karena pada dasarnya manusia bukanlah hewan yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya semenjak lahir. Kedua, manusia memerlukan komunikasi antara yang tua dengan yang muda. Didalamnya mencakup saling pengertian ketika terjadi interaksi diantara keduanya. Ketiga, manusia juga harus menikmati hubungan kasih sayang dengan sesama. Cinta kasih adalah prinsip terkuat dalam ilmu pendidikan. keempat, setiap orang memerlukan suatu konsep kerja tentang jati diri. Seseorang dapat berpikir baik tentang dirinya, ia dapat bekerja efektif di sekolah atau dunia pada umumnya. Kelima, untuk mengembangkan seluruh potensinya, maka manusia memerlukan kemerdekaan. Kemerdekaan ini adalah sebagai suatu kebutuhan bagi suatu bangsa  dimana manusia  hidup berdekatan satu sama lain. Keenam, setiap individu patut mendapatkan kesempatan untuk berkreasi. Dalam konteks ilmu kemanusiaan, kreativitas adalah cara-cara baru untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia.
Ketika ada alasan-alasan dasar penggunaan  pendekatan humaniora dalam pendidikan, maka ada tujuan-tujuan  yang ingin dicapai dari humaniora, yaitu berupa perbaikan tingkah laku dan juga sikap-sikap yang diharapkan pada diri siswa yang telah menggunakan waktunya untuk mengikuti program ilmu-ilmu kemanusiaan.
Adapun mata pelajaran humaniora yang efektif mencoba mencapai tujuan- tujuan berikut ini:
1.    Menyimpulkan bahwa ia manusia dan karena itu ia penting. Seorang siswa harus melihat bahwa dalam semua sifat (nature), ia unik karena kecerdasannya (intelegencinya).
2.    Mengenal bahwa ia bagian dari masyarakat dan harus mencari tempatnya dalam sistem yang berlaku, mengubah apa yang dapat dilakukannya dan menyesuaikan diri dengan apa yang tidak dapat diubahnya.
3.    Menunjukan bahwa ia kreatif, bukan saja dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari tetapi dalam mengalami atau membuat sesuatu yang belum ada sebelumnya dalam musik, seni plastis, atau dalam sastra.
4.    Menimbang bahwa semua pengetahuan berhubungan satu sama lain. Kompartementalisasi pendidikan harus dipertanyakan sehubungan dengan pembagian dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Kompartementalisasi adalah bentuk disosiasi yang lebih rendah, dimana bagian diri terpisah dari kesadaran bagian lain dan berperilaku seolah- olah memiliki kepribadian yang terpisah dari nilai-nilai aslli mereka.
5.    Harus menemukan dirinya sendiri dengan pertanyaan- pertanyaan yang mendasar bersifat filosofis, seperti “siapa aku ini?”; :apa artinya hidup ini?”. Tujuan- tujuan diatas yang menekankan suatu kesatuan  tentang visi, tentang kehidupan dapat tercakup dalam jawaban- jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
6.    Mengidentifikasikan kebutuhan akan nilai-nilai dalam suatu masyarakat bebas (a free society). Dapat dikatakan bahwa suatu nilai adalah suatu sikap yang permanen, suatu standar untul membuat pilihan-pilihan yang menyangkut concern individu, komunitasnya dan bangsanya. Jadi , suatu perasaan  (sense) apa yang penting  sebagai pedoman dalam berperilaku sehari- hari adalah hasil yang paling signifikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Sejarah mempunyai fungsi dalam humaniora, seringkali sejarah disebut sebagai seni dan ilmu. Sejarah sebagai ilmu karena sejarah termasuk dalam disiplin ilmu-ilmu sosial yang memiliki metodologi dalam penulisan sejarah. Sedangkan sejarah sebagai seni terlihat pada tahap penafsiran atau interpretasi dan penulisan sejarah, dimana sejarawan harus menggunakan bahasa dan retorika. Deskripsi tentang peristiwa-peristiwa, tentang pelaku-pelaku sejarah, semuanya menggunakan media bahasa sehingga menghasilkan  suatu narasi (cerita) sejarah yang menarik. Penggunaan retorika membuat membuat sejarah erat sekali hubungannya dengan sastra sehingga sejarah dianggap sebagai suatu “seni” dan karena itu termasuk ke dalam ilmu humaniora atau artes liberales. Yang membedakannya dengan sastra murni adalah sejarah merupakan produk rekonstruksi sejarawan atas dasar sumber- sumber sejarah yang ada.
Selain sejarah sebagai seni dan ilmu, fungsi sejarah juga terlihat dari ungkapan latin, Historia Magistra Vitae yang artinya “sejarah adalah guru kehidupan”. Sebagaimana sebuah tulisan karya Andrik Purwasito yang berjudul “Menggugat Historiografi Indonesia” dalam Jurnal Sejarah vol. 13, beliau mengemukakan bahwa:
Sejarah adalah memori kesadaran yang mampu membentuk watak dan jati diri bangsa. Sejarah yang salah (dalam memaknai evenement) akan membentuk watak dan jati diri yang menyimpang juga. Demikian saya katakan, bahwa sejarah adalah ibu kandung  dari sejatinya kehidupan rohani bangsa. Artinya sejarah yang benar akan membawa  kita ke dalam situasi yang penuh persaudaraan, kebebasan tanpa kecurigaan, dan kesederajatan yang tidak memandang suku, ras, agama, golongan, partai atau kekayaan...
Ketika merujuk definisi tersebut, maka tidak salah jika para sejarawan dahulu memasukan ilmu sejarah ke dalam ilmu humaniora atau ilmu mengenai nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, bahwa sejarah mempunyai kecenderungan untuk memanusiakan manusia dengan memasukan unsur- unsur yang mengandung nilai nasionalisme, patriotisme yang mampu memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia. Pendapat ini sama halnya dengan yang dungkapkan oleh John Tosh (Sjamsuddin, 2007: 285), (Ismaun, 2005: 189) serta Trouillot (Nordholt, Purwanto dan Saptari, 2013: 1). Dengan fungsi tersebut, sejarah akan mampu menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat sejarah akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu menguatkan watak dan jati diri bangsa.
D.  Sejarah Sebagai Ilmu Sosial
Perkembangan sejarah secara kritis semakin berkembang di abad ke- 18 dan ke- 19. Kemudian setelah terjadinya perang dunia ke II, sejarah cenderung menggunakan pendekatan ilmu sosial. Proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu- ilmu sosial disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1.    Sejarah sebagai deskriftif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks.
2.    Pendekatan multidimensional atau social scientific adalah yang paling tepat untuk dipergunakan sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala tersebut.
3.    Ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan yang pesat, sehingga dapat menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analisis historis.
4.    Studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian pada pengkajian hal-hal informatif tentang apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana, tetapi juga ingin melacak pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam pelbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu menuntut adanya alat analitis yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola dan sebagainya.
Peminjaman alat analitis dari ilmu- ilmu sosial adalah wajar karena sejarah konvensional tidak memiliki hal itu, antara lain disebabkan oleh tidak adanya kebutuhan menciptakan teori dan istilah-istilah khusus serta cukup memakai bahasa kehidupan sehari- hari dan common sense. Pada periode rapproachement itu terjadi inovasi yang sangat penting dalam studi sejarah, sehingga sejarah terhindar dari kemacetan.
Relevansi metodologi sejarah dengan pendekatan Ilmu Sosial, bertolak dari konsep sejarah sebagai sistem. Konsep sistem sendiri mencakup prinsip – prinsip sebagai berikut;
1.    Suatu sistem terdiri atas unsur–unsur atau aspek–aspek yang merupakan suatu kesatuan
2.    Fungsi–fungsi unsur–unsur tersebut saling pengaruhi–mempengaruhi dan ada saling ketergantungan, dan bersama–sama mendukung fungsi sistem
3.    Saling ketergantungan disebabkan karena setiap unsur memiliki dimensi– dimensi unsur lain
4.    Dalam mendeskripsi unsur–unsur serta salaing pengaruhnya tidak ada faktor atau dimensi yang deterministik
5.    Dalam studi sejarah pendekatan sistem yang sinkronis sidatnya perlu diimbangi oleh pendekatan diakronis
Dipandang dari titik pendirian sejarah konvensional perubahan metodologi tersebut sangat revolusioner, meninggalkan penulisan sejarah yang naratif. (Sartono Kartodirdjo, halaman 121)
Sebagai ilmu, karena sejarah memiliki metodologi penelitian yang mampu dipertanggung jawabkan metode-metode ilmiah yang objektif dalam penelitian sejarah terletak pada heuristik, kritik sumber dan juga penulisan sejarah berdasarkan analisis. Kemudian sebagai ilmu, sejarah masuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial karena fokus kajiannya adalah manusia meskipun perhatian utama terletak pada perisitiwa di masa lampau yang tidak berulang dan laporan yang bersifat sastra. Dalam kerja sama ini ilmu-ilmu sosial pun menggunakan pendekatan historis untuk dapat mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan serta pola-pola umum sebelum dapat melakukan ramalan-ramalan (prediksi) masa yang akan datang (Kartodirdjo, 1993: 209)
Sebenarnya sejarah mempunyai kedudukan yang unik di dalam rumpun ilmu-ilmu sosial. Meskipun sejarah termasuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial, namun antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya itu masih dapat dibedakan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari bagan berikut ini
Sejarah
Ilmu- ilmu Sosial
Masa lampau (past)
Masa kini
Temporal- spasial
Atemporal- aspasial
Diakronik
Sinkronik
Ideografik
Nomotetik
Partikularistik
Generalistik
Terjadi sekali (einmalig)
Terjadi berulang- ulang
Tidak teratur
Beraturan
Tidak dapat dieksperimen
Dapat dilakukan eksperimen
Tidak untuk meramal
Dapat untuk meramal

Kajian sejarah terikat pada waktu, terutama pada kelampauan. Faktor waktu ini yang amat membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya sehingga sering dikatakan bahwa sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia pada masa lampau, sedangkan ilmu sosial adalah pengkajian manusia pada masa kini. Meskipun begitu, sejarah mengkaji masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu, tetapi kajian ini bisa digunakan untuk pedoman di masa yang akan datang.
Selain memperhatikan masalah temporal, sejarah juga sangat memperhatikan masalah spasial atau ruang, karena kejadian atau peristiwa yang terjadi pasti ditanyakan kapan dan dimana. Ilmu sosial cenderung mengabaikan hal ini karena bagi ilmu sosial, suatu kejadian bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Dalam penggunaan perspektif juga terdapat perbedaan antara sejarah dengan ilmu sosial. Ilmu sejarah menggunakan perspektif diakronik, sedangkan ilmu sosial memakai perspektif sinkronik. Perbedaan keduanya dapat diumpamakan oleh Sartono Kartodirdjo seperti penampang batang kayu. Jika diakronik penampang vertikal,  maka diakronik penampang horizontal. Untuk fenomena yang ditandai secara utuh diperlukan pendekatan secara diakronik, sedangkan ilmu-ilmu sosial yang mencari keumuman memakai perspektif sinkronik sehingga berbentuk seperti garis yang mendatar.
Pada akhirnya ilmu sosial akan melihat kesamaan setiap peristiwa sejarah tanpa terlalu memperhatikan perbedaan waktu dan tempat terjadinya sebuah peristiwa. Selanjutnya sejarah akan menekankan pada kekhususan dari masing- masing peristiwa sejarah dibanding dengan peristiwa sejarah lainnya, sehingga bagi sejarah suatu peristiwa hanya terjadi sekali atau einmalig. Oleh sebab itu sejarah disebut juga kajian yang ideografik, partikularistik, serta kekhasan. Sebaliknya, kajian ilmu-ilmu sosial akan menekankan pada fenomena yang sama di semua peristiwa sejarah sehingga dapat ditarik suatu hukum yang dapat berlaku secara umum. Oleh karena itu, kajian ilmu-ilmu sosial disebut nomotetik atau generalistik, keumuman. Dengan adanya perbedaan sifat-sifat tersebut menyebabkan sejarah bersifat tidak teratur sedangkan ilmu sosial bersifat teratur karena peristiwanya yang berulang-ulang, sehingga ilmu sosial dapat dipakai untuk meramal, sedangkan sejarah tidak bisa.
Pada dasarnya dikotomi antara sejarah dengan ilmu- ilmu sosial memiliki kelemahan tersendiri, yaitu terlalu mengkotak- kotakkan ilmu seakan-akan terlihat tidak ada keterkaitan satu sama lain. Padahal pada kenyataannya, antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya saling memerlukan. Dalam mencapai kekhususan diperlukan sebuah generalisasi atau keumuman untuk mencapai kesimpulan. Sebaliknya, meskipun sejarah yang disimpulkan akan bersifat kekhususan, materi itulah yang akan digunakan para ilmuan sosial untuk mengambil kesimpulan umum dan merumuskan generalisasi atau teori atau “hukum umum” untuk “meramalkan”  peristiwa-peristiwa yang akan datang.
Sejarah tidak mentabukan penggunaan konsep-konsep yang umum digunakan dalam beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu untuk kepentingan analisis sehingga menambah kejelasan dalam eksplanasi atau interpretasi sejarah, maka penggunaan ilmu-ilmu sosial itu wajar saja. Selain itu, pendekatan antara sejarah dan ilmu- ilmu sosial ini ada hubungannya dengan ketidakpuasan para sejarawan sendiri dalam bentuk- bentuk historiografi lama yang ruang lingkupnya terbatas.
Pada perkembangan selanjutnya para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu- ilmu sosial lain. Ketika menganalisis suatu peristiwa, para sejarawan memakai disiplin ilmu lain yang relevan dengan objek kajiannya, hal ini dikenal dengan istilah interdisipliner atau multidimensional yang memeberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Penggunaan akan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman mengenai suatu masalah, baik keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.

BAB III
KESIMPULAN
Seiring perkembangannya, sejarah terus mengikuti perkembangan- perkembangan dalam bidang keilmuannya. Sejarah semakin kritis dalam meneliti setiaap sumber- sumber sejarah. Namun disisi lain, sejarah tetap menarik dengan penggunaan narasi dalam penulisan sejarahnya. Disinilah keunikan sebuah sejarah, dimana mampu memadukan antara ilmu dengan seni. Meskipun banyak perdebatan mengenai kedudukan sejarah sebagai ilmu, akan tetapi sejarah tetap mampu berdiri dan memberikan keunikan tersendiri.
Kedudukan sejarah dalam ilmu sosial adalah unik dan khas karena sejarah benar-benar memenuhi syarat sebagai ilmu jika dilihat dari metode penelitian dari sumber-sumbernya. Sedangkan sejarah sebagai seni dapat dilihat dalam aspek kemahiran interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian maupun dalam penyampaian materi. Dalam hal interpretasi lah sering timbul subjektivitas karena faktor latar belakang pengetahuan, keyakinan dan pandangan hidup ataupun tujuan para sejarawan masing- masing.
Permasalahan sejarah sebagai ilmu bisa kita atasi dengan pendirian kita sendiri, seperti berusaha memperoleh pengetahuan sejarah yang bisa dipertanggung jawabkan dengan menggunakan argumentasi yang meyakinkan dan dilengkapi dengan doumentasi yang baik. Kemudian pengetahuan sejarah tadi harus kita upayakan dekat dengan kebenaran. Dengan menafsirkan sejarah melalui pendekatan analitis-kritis, historis subtantif dan sosial-budaya. Selanjutnya menggunakan cara pendekatan yang kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan kemampuan kita.
Sejarah sebagai humaniora antara lain memiliki arti bahwa sejarah mempunyai kecenderungan untuk memanusiakan manusia dengan memasukan unsur-unsur yang mengandung nasionalisme maupun patriotisme yang mampu memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, fungsi dari sejarah yaitu akan mampu menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat sejarah akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu menguatkan watak dan jati diri bangsa.
Sejarah tidak menutup diri untuk menggunakan konsep-konsep yang umum digunakan dalam beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu untuk kepentingan analisis untuk menambah kejelasan eksplanasi atau interpretasi sejarah maka penggunaan konsep-konsep ilmu sosial itu adalah wajar saja.
Pada perkembangan selanjutnya para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu- ilmu sosial lain. Ketika menganalisis suatu peristiwa, para sejarawan memakai disiplin ilmu lain yang relevan dengan objek kajiannya, hal ini dikenal dengan istilah interdisipliner atau multidimensional yang memberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman mengenai suatu masalah, baik keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.
  
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Hasan, S.H. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Jakarta: Depdiknas.
Ismaun. (2005). Pengantar Belajar. Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press, Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS.
Kartodirdjo, S. (1980).  Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI- Press)
Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Nordholt, H.S., Purwanto, B. dan Saptari, R. (Eds) (2013). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Purwasito, A. (2007). “Menggugat Historiografi Indonesia”. Jurnal Sejarah. 13,  (13), 55-65.
Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak
Supardan, D. (2011). Pengantar Ilmu Sosial. Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.
 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar