oke, engga perlu berlama-lama, check it out :D untuk memudahkan pemahaman, maka saya buat pembahasan ini seperti makalah.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat saat ini, sangat perlu adanya
nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung. Dengan nilai-nilai tersebut
memungkinkan kondisi yang dicita-citakan dapat terwujud. Namun, seiring
modernisasi dan globalisasi yang semakin cepat dan tak bisa dihindari, maka
orang-orang saat ini cenderung meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu
pula yang terjadi di sekolah- sekolah saat ini, siswa-siswi hanya mendalami
ilmu eksakta dalam belajarnya sedangkan ilmu sosialnya cenderung mereka
abaikan. Hal ini menimbulkan dua sisi yang seolah berdampingan akan tetapi
terjadi tabrakan nilai-nilai. Di satu sisi, siswa-siswi disini akan
memperlihatkan daya saing mereka antar individu dalam proses pembelajaran,
karena pada dasarnya ilmu eksakta akan meningkatkan tingkat kecerdasan
siswa-siswi dalam aspek kognitif. Namun disisi lain, akan memperlihatkan
persaingan mereka yang sifatnya individualistis, tidak peduli terhadap sesama
(apatis) dan seolah-olah teman-teman sekelas adalah musuh. Hal ini banyak
terjadi pada mereka yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang
banyak terdapat pada ilmu sosial, khususnya sejarah.
Dengan
demikian, pendidikan humaniora sangat penting diterapkan di sekolah-sekolah
dengan tujuan dapat menyeimbangkan antara aspek kognitif dengan apektif
siswa-siswi. Dengan pendidikan humaniora, siswa-siswi dapat belajar bagaimana
cara berbangsa, bernegara dan beretika dalam bermasyarakat yang baik, karena
siswa-siswi inilah yang selanjutnya akan menjadi the new generations bagi negeri ini di masa depan. Dengan sejarah,
tentunya akan mampu menjadikan the new
generations menjadi the golden age
generations, karena sejarah mampu mengembangkan identitas sosial dan
prospek masa depan melalui gudang-gudang pengalaman dan ingatan kolektif.
Saat
ini sejarah merupakan bagian dari rumpun ilmu sosial. Meskipun begitu, ada
keunikan tersendiri pada sejarah dibanding dengan disiplin ilmu sosial lainnya.
akan tetapi, beberapa keunikan ini menyebabkan perdebatan mengenai pemasukan
sejarah sebagai ilmu dan bagian dari ilmu sosial. Dengan beberapa masalah
diatas, menimbulkan minat kami untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan
sejarah sebagai humaniora dan juga sejarah sebagai ilmu sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
perkembangan posisi sejarah dalam ilmu pengetahuan?
2. Mengapa
terjadi permasalahan mengenai sejarah sebagai ilmu?
3. Apa
yang dimaksud dengan sejarah sebagai humaniora?
4. Apa
fungsi sejarah sebagai humaniora dalam dunia pendidikan?
5. Apa
yang dimaksud dengan sejarah sebagai seni dan ilmu?
6. Bagaimana
pendekatan antara sejarah dengan ilmu sosial lainnya?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui penjelasan dimana letak sejarah dalam ilmu pengetahuan.
2. Untuk
mengetahui apa yang menjadi masalah mengenai sejarah sebagai ilmu sehingga
banyak menimbulkan perdebatan.
3. Untuk
mengetahui maksud dari pengertian sejarah sebagai humaniora.
4. Untuk
mengetahui apa fungsi sejarah sebagai humaniora.
5. Untuk
mengetahui maksud dari sejarah sebagai ilmu dan seni, serta
6. Untuk
mengetahui seperti apa pendekatan antara sejarah dengan ilmu sosial lainnya.
D. Manfaat Penulisan
Besar harapan
penulis untuk mampu menjadikan makalah ini sebagai sumber acuan atau referensi
bagi rekan-rekan mahasiswa untuk lebih memahami mengenai apa arti dari sejarah
sebagai humaniora dan ilmu sosial. Mengingat betapa pentingnya nilai- nilai
kemanusiaan kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu pula,
banyak perdebatan mengenai apakah pantas sejarah dimasukkan sebagai ilmu,
sedangkan sejarah memiliki perbedaan dengan ilmu- ilmu sosial apalagi ilmu
eksakta. Penulis berharap semoga makalah ini mampu memberikan cahaya yang lebih
terang dalam memahami posisi sejarah sebagai ilmu sosial bagi rekan- rekan
mahasiswa.
BAB II
SEJARAH SEBAGAI HUMANIORA dan
SEBAGAI ILMU SOSIAL
A. Perkembangan Sejarah Sebagai Ilmu
Sejarah adalah
salah satu disiplin ilmu tertua yang embrio-embrionya telah ada dalam cerita-cerita
rakyat atau mitos yang berkembang dalam kehidupan di masyarakat yang paling
sederhana. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homo sapiens memiliki potensi untuk menyimpan pengalamannya di
dalam memorinya (ingatan), dan sewaktu-waktu diperlukan dapat diproduksi
(keluarkan) baik dalam angan- angannya maupun dalam bentuk cerita (Kartodirdjo,
1993: 58). Sehingga pada mulanya, sejarah banyak meriwayatkan tokoh- tokoh
mitologis dan kepahlawanan (sage), dan memuat banyak mitos di dalamnya.
Penulisan
sejarah sebetulnya telah ada sebelum Herodotus (198-117 SM), yaitu tulisan karya
Homerus yang berjudul Illiad dan Odyssey (Supardan, 2011: 312). Syair Illiad yang berkisah mengenai perang
antara Yunani dan Troya pada kurun waktu sekitar 1200 SM. Sedangkan syair odyssey berkisah mengenai petualangan
panjang Odysseus setelah jatuhnya kota Troya. Tulisan ini muncul dalam bentuk
puisi serta di dalamnya banyak memuat mitos dan lebih merupakan sebuah legenda
daripada karya sejarah yang sesungguhnya. Bahkan peradaban Mesir, Sumeria,
Babilonia dan Cina merupakan bangsa-bangsa yang memiliki perhatian besar
terhadap sejarah. Meskipun begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa
memperkuat realitas sebagai peradaban yang melahirkan ilmu sejarah yang
pertama, karena orang-orang Mesir, Sumeria, Babilonia dan Cina tidak menulis
mengenai ilmu sejarah.
Penulis
sejarah Yunani yang terkenal adalah Herodotus (198-117 SM) yang dijuluki
sebagai “Bapak Sejarah”. Hal ini tidak terlepas dari sikap objektif yang
ditunjukannya dalam karyanya yang berjudul History
of the Persian Wars (Sejarah Perang-perang Persia). Herodotus melihat bahwa
perang ini merupakan bentrokan dua peradaban yang berbeda, antara Yunani dan
Persia. Berbeda dengan Homerus, Herodotus berusaha keras untuk melakukan inkuiri
atau penelitian secara kritis dan memberi penjelasan-penjelasan yang
naturalistik serta tidak banyak menunjukan adanya “campur tangan” para dewa.
Adapun Thucydides yang menulis tentang The
Peloponnesian War (431-404 SM) berkisah mengenai perang saudara antara dua
polis yang berbeda antara Athena dan
Sparta. Sebuah hal yang penting bagi perkembangan penulisan sejarah adalah
Thucydides mencoba mencari sebab dari segala peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Sedangkan Polybius adalah sejarawan yang mengembangkan metode kritis dalam
penulisan sejarah.
Sejarah
yang mula mulanya berkisah mengenai tokoh mitologi dan kepahlawanan, di
dalamnya juga banyak terdapat mitos, sehingga sangat sukar dibedakan antara
permainan imajinasi dengan realita yang terjadi sebagaimana keadaannya. Di
dalamnya sukar dibedakan antara Dichtung
und Wahrnheit atau antara rekaan dengan yang sebenarnya (Ismaun, 2005:
150). Mengatasi hal tersebut maka munculah kritik sejarah yang merupakan inti
dari metodologi sejarah.
Kritik
sejarah berkembang pada abad ke- 17 hingga akhirnya mencapai taraf kematangan pada abad ke- 19.
Kebangkitan sejarah sebagai disiplin ilmiah dimulai di Jerman, dimana Leopold
von Ranke mencetuskan diktumnya dalam karyanya yang berjudul A Critique of Modern Historical Writers,
bahwa tugas sejarah hanyalah menunjukan apa yang benar- benar telah terjadi (wie es eigentlich gewesen ist) (Ismaun,
2005: 152-153). Maka sejak abad ke- 18, para sejarawan mulai meninggalkan
paradigma sejarah klasik. Mereka mulai memusatkan perhatian pada pemaparan
narasi-narasi peristiwa politik yang terutama didasarkan pada dokumen- dokumen
resmi.
Akan
tetapi, setelah adanya perjuangan pemisahan antara sejarah dengan sastra dan
seni untuk menjadikan sejarah sebagai ilmu, setingkat dengan ilmu- ilmu
kealaman yang ketika itu mencapai puncak perkembangannya, ada proses dalam
sejarah yang tidak cocok dengan proses-proses ilmiah, yang sesuai dengan ukuran
ilmu- ilmu kealaman. Timbul sebuah kesadaran, meskipun sejarawan berpegang
teguh terhadap ajaran Ranke ada soal-soal yang tidak bisa dipecahkan untuk
membela pendiriannya.
Memang
ciri- ciri pengetahuan yang ilmiah, menurut W. H. Walsh (Ismaun, 2005: 153)
ialah: (1) diperoleh secara metodik dan disusun secara sistematis; (2) terdiri
dari setidak- tidaknya mencakup sejumlah kebenaran umum; (3) memberikan
kemampuan untuk membuat prediksi yang berhasil, sehingga dengan demikian kita
dapat mengamati arah proses kejadian-kejadian ke arah masa depan, setidak-
tidak dalam batas waktu tertentu; (4) objektif dalam pengertian bahwa setiap
peneliti harus mau menerima kebenaran di dalamnya, bagaimanapun kecenderungan
pribadinya.
Sebagai
reaksi akan timbulnya “sejarah ilmiah”, timbullah dua macam anggapan mengenai
ciri- ciri disiplin sejarah. Pertama, mereka berpendapat bahwa sejarah adalah
disiplin ilmiah, akan tetapi merupakan ilmu yang khas, yang lain daripada ilmu
kealaman. Kedua, mengatakan bahwa sejarah adalah tetaplah sebagai suatu seni,
dalam konteks ini seni yang setingkat dengan ilmu.
Maka,
baiknya kita melihat prosedur penulisan itu sendiri untuk mengatasi silang
pendapat seperti ini. Sifat ilmiah dari sejarah dapat dilihat dari betapa
tajamnya kritik sumber yang dipakai dalam meniliti sumber-sumber sejarah. Sifat
ilmiah ini didapat seperti ketika sejarah menggunakan alat-alat atau bahan-
bahan kimia untuk menentukan palsu tidaknya sebuah dokumen. Pada hakikatnya,
sejarah adalah sebuah kisah, sehingga hasil penelitian tersebut belum dikatakan
sebagai sejarah tanpa adanya narasi. Maka disamping sejarah yang ilmiah,
sejarah pun masuk dalam seni karena penggunaan tata bahasa yang indah untuk
menarik minat pembaca.
Kedudukan
sejarah sebagai ilmu adalah khas dan unik, karena sejarah benar-benar memenuhi
persyaratan sebagai ilmu jika dipandang dari sudut metode dalam taraf
penelitian sumber- sumbernya. Sejarah dipandang sebagai seni dalam aspek
kemahiran penafsiran atau interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian
maupun dalam penyajian materi sejarah. Dalam interpretasi inilah sering
menimbulkan apa yang dinamakan sebagai subjektivitas karena faktor latar
belakang pengetahuan, keyakinan, pandangan hidup atau tujuan.
Maka
sejarah bisa merupakan bagian dari ilmu humaniora karena ada unsur- unsur
memelihara budaya dan memberi makna atas perkembangan umat manusia. Sejarah
digolongkan sebagai ilmu sosial karena sejarah mencari generalisasi-
generalisasi sosial dan pola- pola aktivitas manusia melalui analitis, kemudian
sejarah memakai generalisasi tersebut untuk mendapatkan kekhususan atau
spesialis (Gottschalk, 2008: 30).
Dengan
demikian, sejarah mempunyai aspek masuk ke dalam ilmu-ilmu sosial, maupun masuk
ke dalam ilmu humaniora. Baik yang unik dan khas atau yang berulang dan umum.
Sesuai dengan guna pada suatu waktu yang kita pentingkan, guna reflektif dan
guna inspiratif lebih memerlukan peristiwa- perisitiwa yang digambarkan secara
unik dan khas. Sedangkan guna instruktif ataupun edukatif lebih memerlukan
penyajian yang dititikberatkan pada yang
berulang dan umum.
B. Permasalahan Sejarah Sebagai Ilmu
Pada
abad ke- 18 dan ke- 19 perkembangan ilmu mencapai fase positivisme yang
dipengaruhi oleh kemajuan ilmu alam, sehingga diberi fungsi normatif untuk
menentukan seberapa jauh pelbagai cabang ilmu dapat digolongkan sebagai ilmu,
bahkan dominasi pikiran positivisme ini masih sangat kuat hingga abad ke- 20.
Dalil-dalil atau hukum- hukum yang dapat dirumuskan sehingga mampu membuat
generalisasi dan memprediksi atau membuat proyeksi ke masa depan merupakan salah satu kriteria yang digunakan
(Kartodirdjo, 1993: 126-127).
Menurut
aliran positivisme, ilmu kemanusiaan, khususnya sejarah, tidaklah bisa
dikatakan sebagai ilmu karena memang tidak mampu membuat hukum- hukum. Sama
halnya sejarah sebagai ilmu menurut Auguste Comte (1798-1857) dalam bukunya
yang berjudul Course de Philosophie
Positive, metodologi ilmiah umum, artinya dapat diterapkan terhadap semua
ilmu pengetahuan yang ada (Kartodirdjo, 1980: 18). Artinya, bagi Comte, sejarah
harus menerapkan metode dengan prosedur yang sama seperti halnya dalam fisika.
Pada
akhir abad ke- 19 timbul reaksi dari golongan yang terkenal sebagai kaum neo-Kantianis
sebagai sanggahan atas pendapat kaum positivisme. Golongan ini dipelopori oleh
beberapa filsuf Jerman seperti Johan Gustav Droysen (1808-1884), Wilhelm
Dilthey (1833-1911), Heinrich Rickert (1863-1936) serta Wilhelm Windelband
(1848-1915) yang kemudian mendapat dukungan dari beberapa kalangan filsuf dari
luar Jerman, seperti Benedetto Croce dari Italia (1866-1952) dan R. G.
Collingwood dari Inggris (1889- 1945). Mereka menerangkan sejarah berdasarkan
teori idealisme bahwa adanya perbedaan fundamental antara ilmu sejarah dan
ilmu-ilmu kealaman. Dalam ilmu ada dikhotomi, yaitu ilmu alam (realie) dan ilmu humaniora atau ilmu
kemanusiaan, keduanya generik dan berdiri sejajar, masing- masing mempunyai
kedudukan otonom (Kartodirdjo, 1993: 127).
Skema dikotomi menurut Sartono Kartodirdjo:
Ilmu Alam
|
Ilmu Kemanusiaan
|
1.
Nomothetis
2.
Generalisasi
3.
Deskriptif- analitis
4.
Eksplanasi
5.
Kuantitatif
6.
Objektif
|
1.
Idiografis
2.
Keunikan
3.
Deskriptif- naratif
4.
Interpretasi
5.
Kualitatif
6.
Subjektif
|
Dalam
ilmu kealaman diadakan tinjauan terhadap gejala-gejala yang serba universal
atau generalis, sedangkan dalam humaniora diadakan tinjauan terhadap gejala-gejala
serba unik atau individual. Dalam ilmu kealaman bersifat nomothetis atau
menjabarkan hukum- hukum, sedangkan dalam ilmu humaniora bersifat idiografis,
yakni menggambarkan pengertian- pengertian dengan mengadakan individualisasi
dan memperhatikan keunikan (Ismaun, 2005: 163-164).
Generalisasi
dicapai melalui analisis, sedangkan gambaran yang khusus dicapai melalui
narasi. Apabila ilmu alam bersifat kuantitatif, maka ilmu humaniora lebih
bersifat kualitatif. Penggunaan kausalitas dalam menghubungkan sebuah gejala
menjadikan ilmu alam terumuskan dalam sebuah eksplanasi, sedangkan hubungan
kualitatif dirumuskan dengan menggunakan interpretasi (tafsiran). Dengan
demikian, terlihat bahwa ilmu alam akan lebih bersifat objektif terhadap objek
kajiannya, sedangkan ilmu humaniora mempunyai tendensi cara kerja subjektif.
Dalam hal ini, ilmu sosial mengambil tempat di tengahnya tetapi cenderung lebih
dekat kepada ilmu alam karena kajiannya tentang tindakan dan kelakuan manusia menunjukan
perhatian kepada keteraturan atau keajegan. Jadi, dalam mengamati pola,
struktur, lembaga, kecenderungan, semuanya mirip dengan hukum- hukum.
Dikotomi
(pemisahan atau pembelahan) dalam ilmu antara ilmu alam dengan humaniora yang
disebabkan pertentangan antara teori positivisme dengan teori idealisme
mengakibatkan adanya dua pendapat mengenai sejarah sebagai ilmu, yaitu sejarah
sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial dan sejarah sebagai humaniora. Sejarah
sebagai ilmu-ilmu sosial lebih cenderung pada aspek nomothetis sedangkan
sejarah sebagai humaniora masuk ke dalam aspek idiografis.
Pertentangan
antara teori positivisme dengan teori idealisme sebenarnya bisa dikurangi
ketajamannya dan didekatkan dalam suatu sintesis. Hukum alam yang keras
bagaikan “hukum besi” dan mempertahankan determinismenya tidak sekeras dahulu
menurut anggapan semula. Dalam psikologi, bahkan dalam fisika sendiri, dalam
mekanika dan astronomi dikenal prinsip-prinsip relativitas atau kenisbian
(Ismaun’ 2005: 169).
Dalam
sejarah, selain memusatkan perhatian pada yang serba unik, harus juga dapat
melihat pada suatu yang seba unik, khusus dan individual ada faset serba umum
dan ada fenomena yang berulang dengan tendensi serba universal. Artinya sesuatu
yang serba unik tidak dapat dinyatakan dengan menyampingkan yang serba umum,
sebaliknya sesuatu yang serba umum tidak dapat ditunjukan tanpa memperhatikan
yang serba unik.
Dalam
menerangkan sejarah maka harus dengan
mencari koligasi antar fakta- fakta sejarah, dicarilah hubungan intrinsik antar
fakta dan dan fungsi fakta- fakta. Koligasi antar fakta dalam penulisan sejarah
sangat penting sehingga cerita dalam sejarah tidak hanya mengenai tentang apa,
dimana, kapan dan siapa, akan tetapi juga harus menjelaskan bagaimananya dan sebab peristiwanya.
Sejarah
memberikan pengetahuan perspektif, yaitu pengetahuan berupa interpretasi atau
penafsiran yang ditentukan oleh pandangan kita terhadap peristiwa-peristiwa
sejarah. Ada berbagai macam cerita sejarah dimulai dari yang paling sederhana
sampai yang paling rumit atau sering disebut dengan istilah sophisticated, dari yang naif sampai
yang sangat kritis. Pada umumnya sebagian besar cerita-cerita sejarah berbentuk
uraian mengenai peristiwa-peristiwa dalam urutan kronologis dan deskripsi
tokoh- tokoh serta situasi dan kondisinya (Ismaun, 2005: 172).
Dalam
perkembangan sejarah sebagai ilmu telah banyak timbul banyak persoalan mengenai
metodologinya. Sebagian besar sejarawan saat ini tidak membedakan dirinya
antara golongan sejarawan sebagai ilmuan humaniora dengan golongan sejarawan
sebagai ilmuwan sosial. Persoalan tersebut diantaranya, (1) mengenai
pendekatan, generalisasi kontra individualisasi, umum dengan abstrak atau
nomothetis kontra idiografis; (2)
mengenai metode, sistem kontra kiat seni (art), maksudnya sejarawan ilmu sosial menggunakan metodologi dengan
prosedur dalam suatu sistem yang ketat untuk merumuskan keumuman atau generalisasi. Sedangkan
sejarawan humaniora biasanya tidak memulai dengan pernyataan hipotesis (dugaan
sementara), meskipun ia beranggapan menggunakan metode yang ketat; (3) mengenai
analisis, pro dan kontra kuantifikasi, maksudnya sejarawan sosial menggunakan
aspek kuantitatif seperti angka- angka statistik meskipun itu dalam bentuk
perkiraan, sedangkan sejarawan humaniora bersikap skeptis terhadap kuantifikasi
karena bagi mereka banyak sekali aspek- aspek yang tidak bisa diukur dengan
angka- angka; (4) mengenai estetika, dimana sejarawan lebih mengutamakan ide
untuk mencapai kecermatan dan kejelasan melalui keketatan metode analisis,
sedangkan sejarawan humaniora mengutamakan ide untuk mencapai karya tulis
sejarah yang bernilai sastra.
Penggunaan
kuantifikasi atau angka-angka statistika mempunyai kelebihan tersendiri. Pertama, penyajian kuantitatif akan
membantu para sejarawan menjelaskan argumennya secara sistematis dan jelas,
serta mempersiapkan diri ketika adanya penolakan. Kedua, akan mendorong sejarawan untuk lebih memperhatikan
keseluruhan rentetan perubahan dan keseluruhan corak yang kontras pada
perbedaan antara perode-periode, situasi-situasi dan struktur- struktur. Ketiga, memungkinkan kepada peneliti
yang lain dalam subjek yang sama untuk menambah, memperbaiki atau menolak hasil
dari penelitian sebelumnya. Berdasarkan data kuantitatif dapat dihindari
distorsi sejarah atau pemutar balikan fakta ataupun penyimpangan secara
ideologis daripada pemakaian kualitatif dan intuitif (Ismaun, 2005: 176-177).
Namun,
ada penolakan mengenai penggunaan kuantifikasi dalam penulisan sejarah,
penggunaan data kuantifikasi menimbulkan kekaburan dan pengingkaran tanggung
jawab. Argumentasi ini didasarkan secara ekstrem pada subjektivisme yang
mendasar bahwa tidak ada sejarah yang objektif, karena sejarawan dikuasai oleh
subjektivitas-subjektivitas masing-masing. Disamping itu, penggunaan data
kuantifikasi sangat sulit untuk dilaksanakan karena sukarnya pengolahan, sulit
dipelajari dan biayanya yang relatif sangat mahal.
Kritik
berdasarkan subjektivisme yang sangat
ekstrem adalah sangat berbahaya. Kritik ini percaya bahwa semua kenyataan pada
hakikatnya tidak dapat dikenali menurut sebagaimana keadaannya, atau ada
keunikan- keunikan pada sifat- sifat insani, sehingga tidak dapat dipercaya
kebenarannya, hal ini dapat menyesatkan atau anggapan ini harus ditolak. Carl
Becker (Supardan, 2011: 318) mengatakan bahwa pemujaan terhadap fakta dan
pembedaan fakta antara fakta keras dan fakta lunak merupakan sebuah ilusi.
Sebab fakta sejarah tidaklah seperti batu bata yang mudah dipasang. Akan
tetapi, fakta itu sengaja dipilih oleh
sejarawan yang relevan dengan kebutuhan penelitian.
Untuk
itu, dalam menghadapi permasalahan yang yang mengandung komplikasi dan
kontroversi, baiknya kita memiliki pendirian seperti, berusaha memperoleh
pengetahuan sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan dengan argumentasi yang
lebih meyakinkan dan dilengkapi dengan dokumentasi yang lebih baik.
Selanjutnya, pengetahuan sejarah diupayakan penyajiannya dekat dengan
kebenaran, dengan menafsirkan sejarah melalui pendekatan analitis-kritis,
historis substantif dan sosial-budaya. Menggunakan cara pendekatan kualitatif
ataupun kuantitatif sesuai dengan efektivitas dan kemampuan kita.
C.
Sejarah
Sebagai Humaniora
Pengetahuan
manusia umunya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu
alamiah, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan atau sering disebut dengan
istilah humaniora. Pada mulanya sejarah merupakan bagian dari ilmu humaniora
dan kemudian sejarah menjadi bagian dari disiplin ilmu- ilmu sosial. Pengertian humaniora sampai saat ini masih
belum baku, menurut Ralph Barton Perry (Sjamsuddin, 2007: 274) menyebutkan
bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu adalah cabang-cabang dari pengetahuan santun.
Ilmu kemanusiaan merupakan cabang-cabang dari kajian-kajian tertentu yang
mempunyai kecenderungan untuk memanusiakan manusia (humanize) sebagai lawan dari ilmu fisika yang cenderung untuk
mengembangkan kemampuan- kemampuan intelektual manusia.
Pokok-pokok
kajian humaniora ialah filsafat, interpretasi tentang sastra dan sejarah,
kritik tentang seni, musik dan teater yang semuanya membahas tentang
batas-batas, kedalaman-kedalaman dan kapasitas-kapasitas dari semangat manusia.
termasuk juga didalamnya pendidikan liberal yang merupakan lawan dari
pendidikan praktis.
Sejarah dan Ilmu Kemanusiaan
erat hubungannya dengan pendidikan, sebab digunakan untuk kepentingan
pendidikan. Konsepsi klasik tentang Humaniora berasal dari tradisi Hellenistik
paidagogia (Yunani = training, latihan) yang diperlukan bagi pendidikan umum
untuk mengembangkan pribadi seseorang agar tumbuh harmonis dan seimbang.
Sejarah Humaniora berawal dari retorik Socrates, seorang juru pidato dan guru
pidato bangsa Yunani. Oleh orang Romawi konsepsi retorik dari Socrates ini
dimasukkan dalam Artes Liberales atau pendidikan liberal sebagai suatu seni
diskusi, yang sesuai tentang pemerintahan dan etika. Pendidikan
liberal disini bisa diartikan untuk mengajarkan kepada manusia akan kebebasan
dalam berpendapat.
Humaniora berkembang di
Eropa pada Abad Pertengahan. Pengetahuan ketika itu dibagi atas dua kelompok:
pertama, Quadrivium yaitu ilmu berhitung seperti geometrika, astronomi, dan
music, Kedua Trivium yaitu ilmu bahasa, dialektika, retorika, yang dikenal juga
dengan artes liberales. Dalam perkembangan kemudian yang termasuk humaniora adalah
bahasa, filsafat, musik, seni– seni visual, dan sejarah. Semuanya dipisahkan
dengan matematika, sains, atau ilmu– ilmu alamiah serta ilmu– ilmu social yang
baru berkembang kemudian.
Humaniora
menekankan kepada kedua hal, yang pertama
keunikan manusia di dalam alam dimana manusia sendiri, melalui intelegensinya,
mampu mengontrol perkembangan fisik dan mental. Kedua, pencarian manusia akan nilai- nilai (values), dalam pencarian ini manusia mempergunakan daya-daya
kreatifnya.
Mengenai
alasan dilakukan pendekatan humaniora dalam pendidikan di sekolah-sekolah
berpangkal pada kebutuhan-kebutuhan hidup modern yang mutakhir dari masyarakat
yang sudah sangat industrialistis. Perkembangan ilmu alam dan teknologi telah
meningkatkan taraf hidup, produksi, distribusi dan konsumsi barang- barang
telah mencapai suatu puncak tertinggi. Akan tetapi, pada perkembangan
selanjutnya, masyarakat tersebut bisa menjadi pemberontak akan kemapanan nilai-nilai
keluarganya, sekolah, lingkungan hidup dan keagamaannya. Tetapi dalam
peranannnya sebagai pemberontak, personalitasnya yang menonjol mendesaknya
untuk bertindak, merasa, berpikir dan percaya kepada visi pribadinya tentang
dunia. Keadaan ambivalensi terhadap masyarakat yang seperti ini, para siswa
acapkali menolak tujuan-tujuan dan isi dari mata pelajaran yang diberikan.
Hal
ini menjadikan manusia membutuhkan suatu pengetahuan tradisional yang
relevan sebagai tambahan terhadap
pengetahuan yang diberikan setiap hari sebagai tuntutan untuk dapat hidup layak
dalam suatu masyarakat industri. Dengan demikian, sebagai alasan utama dan
sederhana dari humaniora adalah bahwa humaniora dapat mengisi kebutuhan
pengetahuan tradisional dan mengingatkan mereka, bahwa dalam zaman mesinpun,
mereka tetaplah manusia (Sjamsuddin, 2007: 279).
Menurut
Earl C. Kelley (Sjamsuddin, 2007: 279), (Kartodirdjo, 2005: 184), ada enam
dasar fundamental sebagai alasan tambahan kepada pendekatan ilmu- ilmu
kemanusiaan berasal dari kebutuhan untuk mendidik orang-orang untuk hidup dalam
masyarakat demokratis, yaitu pertama manusia
memerlukan manusia lainnya, artinya manusia ketika pertama kali lahir harus
dibesarkan dan belajar lebih dahulu kepada orang lain, tanpa itu semua manusia
akan mati, karena pada dasarnya manusia bukanlah hewan yang mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungannya semenjak lahir. Kedua,
manusia memerlukan komunikasi antara yang tua dengan yang muda. Didalamnya
mencakup saling pengertian ketika terjadi interaksi diantara keduanya. Ketiga, manusia juga harus menikmati
hubungan kasih sayang dengan sesama. Cinta kasih adalah prinsip terkuat dalam
ilmu pendidikan. keempat, setiap
orang memerlukan suatu konsep kerja tentang jati diri. Seseorang dapat berpikir
baik tentang dirinya, ia dapat bekerja efektif di sekolah atau dunia pada umumnya. Kelima, untuk mengembangkan seluruh
potensinya, maka manusia memerlukan kemerdekaan. Kemerdekaan ini adalah sebagai
suatu kebutuhan bagi suatu bangsa dimana
manusia hidup berdekatan satu sama lain.
Keenam, setiap individu patut
mendapatkan kesempatan untuk berkreasi. Dalam konteks ilmu kemanusiaan,
kreativitas adalah cara-cara baru untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan
manusia.
Ketika
ada alasan-alasan dasar penggunaan
pendekatan humaniora dalam pendidikan, maka ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari humaniora, yaitu
berupa perbaikan tingkah laku dan juga sikap-sikap yang diharapkan pada diri
siswa yang telah menggunakan waktunya untuk mengikuti program ilmu-ilmu
kemanusiaan.
Adapun
mata pelajaran humaniora yang efektif mencoba mencapai tujuan- tujuan berikut
ini:
1. Menyimpulkan
bahwa ia manusia dan karena itu ia penting. Seorang siswa harus melihat bahwa
dalam semua sifat (nature), ia unik
karena kecerdasannya (intelegencinya).
2. Mengenal
bahwa ia bagian dari masyarakat dan harus mencari tempatnya dalam sistem yang
berlaku, mengubah apa yang dapat dilakukannya dan menyesuaikan diri dengan apa
yang tidak dapat diubahnya.
3. Menunjukan
bahwa ia kreatif, bukan saja dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan
sehari-hari tetapi dalam mengalami atau membuat sesuatu yang belum ada
sebelumnya dalam musik, seni plastis, atau dalam sastra.
4. Menimbang
bahwa semua pengetahuan berhubungan satu sama lain. Kompartementalisasi
pendidikan harus dipertanyakan sehubungan dengan pembagian dengan ilmu-ilmu
pengetahuan. Kompartementalisasi adalah bentuk disosiasi yang lebih rendah,
dimana bagian diri terpisah dari kesadaran bagian lain dan berperilaku seolah-
olah memiliki kepribadian yang terpisah dari nilai-nilai aslli mereka.
5. Harus
menemukan dirinya sendiri dengan pertanyaan- pertanyaan yang mendasar bersifat
filosofis, seperti “siapa aku ini?”; :apa artinya hidup ini?”. Tujuan- tujuan
diatas yang menekankan suatu kesatuan
tentang visi, tentang kehidupan dapat tercakup dalam jawaban- jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan ini.
6. Mengidentifikasikan
kebutuhan akan nilai-nilai dalam suatu masyarakat bebas (a free society). Dapat dikatakan bahwa suatu nilai adalah suatu
sikap yang permanen, suatu standar untul membuat pilihan-pilihan yang
menyangkut concern individu, komunitasnya
dan bangsanya. Jadi , suatu perasaan (sense) apa yang penting sebagai pedoman dalam berperilaku sehari-
hari adalah hasil yang paling signifikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Sejarah
mempunyai fungsi dalam humaniora, seringkali sejarah disebut sebagai seni dan
ilmu. Sejarah sebagai ilmu karena sejarah termasuk dalam disiplin ilmu-ilmu
sosial yang memiliki metodologi dalam penulisan sejarah. Sedangkan sejarah
sebagai seni terlihat pada tahap penafsiran atau interpretasi dan penulisan
sejarah, dimana sejarawan harus menggunakan bahasa dan retorika. Deskripsi
tentang peristiwa-peristiwa, tentang pelaku-pelaku sejarah, semuanya
menggunakan media bahasa sehingga menghasilkan
suatu narasi (cerita) sejarah yang menarik. Penggunaan retorika membuat
membuat sejarah erat sekali hubungannya dengan sastra sehingga sejarah dianggap
sebagai suatu “seni” dan karena itu termasuk ke dalam ilmu humaniora atau artes liberales. Yang membedakannya
dengan sastra murni adalah sejarah merupakan produk rekonstruksi sejarawan atas
dasar sumber- sumber sejarah yang ada.
Selain
sejarah sebagai seni dan ilmu, fungsi sejarah juga terlihat dari ungkapan
latin, Historia Magistra Vitae yang
artinya “sejarah adalah guru kehidupan”. Sebagaimana sebuah tulisan karya
Andrik Purwasito yang berjudul “Menggugat Historiografi Indonesia” dalam Jurnal
Sejarah vol. 13, beliau mengemukakan bahwa:
Sejarah
adalah memori kesadaran yang mampu membentuk watak dan jati diri bangsa.
Sejarah yang salah (dalam memaknai evenement)
akan membentuk watak dan jati diri yang menyimpang juga. Demikian saya katakan,
bahwa sejarah adalah ibu kandung dari
sejatinya kehidupan rohani bangsa. Artinya sejarah yang benar akan membawa kita ke dalam situasi yang penuh
persaudaraan, kebebasan tanpa kecurigaan, dan kesederajatan yang tidak
memandang suku, ras, agama, golongan, partai atau kekayaan...
Ketika
merujuk definisi tersebut, maka tidak salah jika para sejarawan dahulu
memasukan ilmu sejarah ke dalam ilmu humaniora atau ilmu mengenai nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan kata lain, bahwa sejarah mempunyai kecenderungan untuk
memanusiakan manusia dengan memasukan unsur- unsur yang mengandung nilai
nasionalisme, patriotisme yang mampu memberikan pengaruh yang besar dalam
kehidupan manusia. Pendapat ini sama halnya dengan yang dungkapkan oleh John
Tosh (Sjamsuddin, 2007: 285), (Ismaun, 2005: 189) serta Trouillot (Nordholt,
Purwanto dan Saptari, 2013: 1). Dengan fungsi tersebut, sejarah akan mampu
menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat sejarah
akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu
menguatkan watak dan jati diri bangsa.
D. Sejarah Sebagai Ilmu Sosial
Perkembangan
sejarah secara kritis semakin berkembang di abad ke- 18 dan ke- 19. Kemudian
setelah terjadinya perang dunia ke II, sejarah cenderung menggunakan pendekatan
ilmu sosial. Proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu- ilmu sosial
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Sejarah
sebagai deskriftif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan
pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks.
2. Pendekatan
multidimensional atau social scientific
adalah yang paling tepat untuk dipergunakan sebagai cara menggarap permasalahan
atau gejala tersebut.
3. Ilmu-ilmu
sosial telah mengalami perkembangan yang pesat, sehingga dapat menyediakan
teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk
keperluan analisis historis.
4. Studi
sejarah tidak terbatas pada pengkajian pada pengkajian hal-hal informatif
tentang apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana, tetapi juga ingin melacak
pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam
pelbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu menuntut adanya alat analitis
yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola dan sebagainya.
Peminjaman
alat analitis dari ilmu- ilmu sosial adalah wajar karena sejarah konvensional
tidak memiliki hal itu, antara lain disebabkan oleh tidak adanya kebutuhan
menciptakan teori dan istilah-istilah khusus serta cukup memakai bahasa
kehidupan sehari- hari dan common sense.
Pada periode rapproachement itu
terjadi inovasi yang sangat penting dalam studi sejarah, sehingga sejarah
terhindar dari kemacetan.
Relevansi
metodologi sejarah dengan pendekatan Ilmu Sosial, bertolak dari konsep sejarah
sebagai sistem. Konsep sistem sendiri mencakup prinsip – prinsip sebagai
berikut;
1. Suatu
sistem terdiri atas unsur–unsur atau aspek–aspek yang merupakan suatu kesatuan
2. Fungsi–fungsi
unsur–unsur tersebut saling pengaruhi–mempengaruhi dan ada saling
ketergantungan, dan bersama–sama mendukung fungsi sistem
3. Saling
ketergantungan disebabkan karena setiap unsur memiliki dimensi– dimensi unsur
lain
4. Dalam
mendeskripsi unsur–unsur serta salaing pengaruhnya tidak ada faktor atau
dimensi yang deterministik
5. Dalam
studi sejarah pendekatan sistem yang sinkronis sidatnya perlu diimbangi oleh
pendekatan diakronis
Dipandang
dari titik pendirian sejarah konvensional perubahan metodologi tersebut sangat
revolusioner, meninggalkan penulisan sejarah yang naratif. (Sartono
Kartodirdjo, halaman 121)
Sebagai
ilmu, karena sejarah memiliki metodologi penelitian yang mampu dipertanggung
jawabkan metode-metode ilmiah yang objektif dalam penelitian sejarah terletak
pada heuristik, kritik sumber dan juga penulisan sejarah berdasarkan analisis. Kemudian
sebagai ilmu, sejarah masuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial karena
fokus kajiannya adalah manusia meskipun perhatian utama terletak pada
perisitiwa di masa lampau yang tidak berulang dan laporan yang bersifat sastra.
Dalam kerja sama ini ilmu-ilmu sosial pun menggunakan pendekatan historis untuk
dapat mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan serta pola-pola umum sebelum
dapat melakukan ramalan-ramalan (prediksi) masa yang akan datang (Kartodirdjo,
1993: 209)
Sebenarnya
sejarah mempunyai kedudukan yang unik di dalam rumpun ilmu-ilmu sosial.
Meskipun sejarah termasuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial, namun
antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya itu masih dapat dibedakan.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari bagan berikut ini
Sejarah
|
Ilmu- ilmu Sosial
|
Masa
lampau (past)
|
Masa
kini
|
Temporal-
spasial
|
Atemporal-
aspasial
|
Diakronik
|
Sinkronik
|
Ideografik
|
Nomotetik
|
Partikularistik
|
Generalistik
|
Terjadi
sekali (einmalig)
|
Terjadi
berulang- ulang
|
Tidak
teratur
|
Beraturan
|
Tidak
dapat dieksperimen
|
Dapat
dilakukan eksperimen
|
Tidak
untuk meramal
|
Dapat
untuk meramal
|
Kajian
sejarah terikat pada waktu, terutama pada kelampauan. Faktor waktu ini yang
amat membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya sehingga sering
dikatakan bahwa sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia pada masa
lampau, sedangkan ilmu sosial adalah pengkajian manusia pada masa kini.
Meskipun begitu, sejarah mengkaji masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu,
tetapi kajian ini bisa digunakan untuk pedoman di masa yang akan datang.
Selain
memperhatikan masalah temporal, sejarah juga sangat memperhatikan masalah
spasial atau ruang, karena kejadian atau peristiwa yang terjadi pasti
ditanyakan kapan dan dimana. Ilmu sosial cenderung mengabaikan hal ini karena
bagi ilmu sosial, suatu kejadian bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Dalam
penggunaan perspektif juga terdapat perbedaan antara sejarah dengan ilmu
sosial. Ilmu sejarah menggunakan perspektif diakronik, sedangkan ilmu sosial
memakai perspektif sinkronik. Perbedaan keduanya dapat diumpamakan oleh Sartono
Kartodirdjo seperti penampang batang kayu. Jika diakronik penampang
vertikal, maka diakronik penampang
horizontal. Untuk fenomena yang ditandai secara utuh diperlukan pendekatan secara
diakronik, sedangkan ilmu-ilmu sosial yang mencari keumuman memakai perspektif
sinkronik sehingga berbentuk seperti garis yang mendatar.
Pada
akhirnya ilmu sosial akan melihat kesamaan setiap peristiwa sejarah tanpa
terlalu memperhatikan perbedaan waktu dan tempat terjadinya sebuah peristiwa.
Selanjutnya sejarah akan menekankan pada kekhususan dari masing- masing
peristiwa sejarah dibanding dengan peristiwa sejarah lainnya, sehingga bagi
sejarah suatu peristiwa hanya terjadi sekali atau einmalig. Oleh sebab itu sejarah disebut juga kajian yang
ideografik, partikularistik, serta kekhasan. Sebaliknya, kajian ilmu-ilmu
sosial akan menekankan pada fenomena yang sama di semua peristiwa sejarah
sehingga dapat ditarik suatu hukum yang dapat berlaku secara umum. Oleh karena
itu, kajian ilmu-ilmu sosial disebut nomotetik atau generalistik, keumuman.
Dengan adanya perbedaan sifat-sifat tersebut menyebabkan sejarah bersifat tidak
teratur sedangkan ilmu sosial bersifat teratur karena peristiwanya yang
berulang-ulang, sehingga ilmu sosial dapat dipakai untuk meramal, sedangkan
sejarah tidak bisa.
Pada
dasarnya dikotomi antara sejarah dengan ilmu- ilmu sosial memiliki kelemahan
tersendiri, yaitu terlalu mengkotak- kotakkan ilmu seakan-akan terlihat tidak
ada keterkaitan satu sama lain. Padahal pada kenyataannya, antara sejarah
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya saling memerlukan. Dalam mencapai kekhususan diperlukan
sebuah generalisasi atau keumuman untuk mencapai kesimpulan. Sebaliknya,
meskipun sejarah yang disimpulkan akan bersifat kekhususan, materi itulah yang
akan digunakan para ilmuan sosial untuk mengambil kesimpulan umum dan
merumuskan generalisasi atau teori atau “hukum umum” untuk “meramalkan” peristiwa-peristiwa yang akan datang.
Sejarah
tidak mentabukan penggunaan konsep-konsep yang umum digunakan dalam beberapa
ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu untuk kepentingan
analisis sehingga menambah kejelasan dalam eksplanasi atau interpretasi
sejarah, maka penggunaan ilmu-ilmu sosial itu wajar saja. Selain itu,
pendekatan antara sejarah dan ilmu- ilmu sosial ini ada hubungannya dengan
ketidakpuasan para sejarawan sendiri dalam bentuk- bentuk historiografi lama
yang ruang lingkupnya terbatas.
Pada
perkembangan selanjutnya para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan
menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan
sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu- ilmu sosial lain. Ketika
menganalisis suatu peristiwa, para sejarawan memakai disiplin ilmu lain yang
relevan dengan objek kajiannya, hal ini dikenal dengan istilah interdisipliner
atau multidimensional yang memeberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah.
Penggunaan akan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan
suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman mengenai
suatu masalah, baik keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.
BAB III
KESIMPULAN
Seiring
perkembangannya, sejarah terus mengikuti perkembangan- perkembangan dalam
bidang keilmuannya. Sejarah semakin kritis dalam meneliti setiaap sumber-
sumber sejarah. Namun disisi lain, sejarah tetap menarik dengan penggunaan
narasi dalam penulisan sejarahnya. Disinilah keunikan sebuah sejarah, dimana
mampu memadukan antara ilmu dengan seni. Meskipun banyak perdebatan mengenai
kedudukan sejarah sebagai ilmu, akan tetapi sejarah tetap mampu berdiri dan memberikan
keunikan tersendiri.
Kedudukan
sejarah dalam ilmu sosial adalah unik dan khas karena sejarah benar-benar
memenuhi syarat sebagai ilmu jika dilihat dari metode penelitian dari
sumber-sumbernya. Sedangkan sejarah sebagai seni dapat dilihat dalam aspek
kemahiran interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian maupun dalam
penyampaian materi. Dalam hal interpretasi lah sering timbul subjektivitas
karena faktor latar belakang pengetahuan, keyakinan dan pandangan hidup ataupun
tujuan para sejarawan masing- masing.
Permasalahan sejarah
sebagai ilmu bisa kita atasi dengan pendirian kita sendiri, seperti berusaha
memperoleh pengetahuan sejarah yang bisa dipertanggung jawabkan dengan
menggunakan argumentasi yang meyakinkan dan dilengkapi dengan doumentasi yang
baik. Kemudian pengetahuan sejarah tadi harus kita upayakan dekat dengan
kebenaran. Dengan menafsirkan sejarah melalui pendekatan analitis-kritis,
historis subtantif dan sosial-budaya. Selanjutnya menggunakan cara pendekatan yang
kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan kemampuan kita.
Sejarah
sebagai humaniora antara lain memiliki arti bahwa sejarah mempunyai
kecenderungan untuk memanusiakan manusia dengan memasukan unsur-unsur yang
mengandung nasionalisme maupun patriotisme yang mampu memberikan pengaruh yang
besar bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, fungsi dari sejarah yaitu akan
mampu menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat
sejarah akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu
menguatkan watak dan jati diri bangsa.
Sejarah
tidak menutup diri untuk menggunakan konsep-konsep yang umum digunakan dalam
beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu untuk
kepentingan analisis untuk menambah kejelasan eksplanasi atau interpretasi
sejarah maka penggunaan konsep-konsep ilmu sosial itu adalah wajar saja.
Pada
perkembangan selanjutnya para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan
menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan
sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu- ilmu sosial lain. Ketika
menganalisis suatu peristiwa, para sejarawan memakai disiplin ilmu lain yang
relevan dengan objek kajiannya, hal ini dikenal dengan istilah interdisipliner
atau multidimensional yang memberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah.
Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu
masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman mengenai suatu
masalah, baik keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk,
L. (1986). Mengerti Sejarah. Diterjemahkan
oleh Nugroho Notosusanto. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Hasan,
S.H. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek
Pendidikan Tenaga Akademik. Jakarta: Depdiknas.
Ismaun.
(2005). Pengantar Belajar. Sejarah
Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press, Jurusan
Pendidikan Sejarah FPIPS.
Kartodirdjo,
S. (1980). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-
Press)
Kartodirdjo,
S. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Nordholt,
H.S., Purwanto, B. dan Saptari, R. (Eds) (2013). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Purwasito,
A. (2007). “Menggugat Historiografi Indonesia”. Jurnal Sejarah. 13, (13), 55-65.
Sjamsuddin,
H. (2007). Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak
Supardan,
D. (2011). Pengantar Ilmu Sosial. Sebuah
Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.